Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Birrul Walidain

Oleh: D. Zawawi Imron


Salah satu nilai yan menunjukkan kecintaan dan ketaatan seorang hamba kepada Allah dan rasulNya ialah sikap baiknya kepada ayah bundanya. Hal ini penting untuk disampaikan kepada kaum muslimin, mengingat Allah sangat menekankan dengan sikap dan akhlak “Birrul Walidain” memuliakan kedua orang tua. Artinya selalu bersikap hormat kepada ayah dan ibu. Memuliakan kedua orang tua tidak cukup hanya dengan hati. Memuliakan kedua orang tua selain dengan sikap cinta dan hormat juga harus disempurnakan dengan perlakuan baik kepada kedua orang tua.

Untuk bisa menghormati ibu dan ayah, seorang anak manusia perlu mengenang serta menghayati cinta kasih serta perlakuan ayah dan ibu kapada sang putera. Bagaimana seorang anak selama 9 bulan berada dalam kandungan ibunda. Bila tiba saatnya melahirkan sang ibu berjuang dengan penuh kesungguhan untuk melahirkan sang anak, setelah anak lahir lalu disusuinya dengan penuh rasa kasih sayang sampai tiba saatnya untuk disapih.
Sang anak kencing di haribaan ibunda, sang ibu tidak marah bahkan si anak yang masih bayi, sang  ibu tidak jijik membersihkan dan membunag kotoran sang anak. Ditambah lagi ketekunan ibu dan ayah mengasuh mulai dari ayah yang mencarikan nafkah serta biaya belajar dan lain-lain. Juga ibu yang setiap hari memasak untuk sang anak tanpa mengharapkan balasan. Jadi, kalau ada hutang yang tidak mampu aku bayar adalah hutangku, wahai ibu. Kalau ada hutang yan gtak mampu aku bayar, hutangku wahai ayah.
Penghayatan seperti itu kepada jasa-jasa ibu dan ayah perlu menjadi kenangan indah, dan labih dari itu menjadi bahan renungan agar hati ini tidak kering. Menghayati dan merenungkan jasa dan kasih sayang ibu dan ayah yang dilakukan oleh akal sehat dan hati yang jernih akan menumbuhkan pencerahan di dalam kalbu.
Pencerahan itu berupa kecerdasan bahwa diri ini puteranya ibu dan puteranya ayah. Ada kata-kata mutiara yang berbunyi “sesekali manusia itu perlu merenung dengan cerdas siapa dirinya. Kemudian ia mengaku kepada Allah bahwa ia putera ibunya dan putera ayahnya. Dalam melapor itu ia berbisik (berdoa) dengan hati yang dalam agar Allah mengampuni ayah bundanya, serta mohon kepada Allah agar Allah memberikan kasih sayangNya kepada ibu dan ayah kepada sebagaiman ayah bunda dulu mencurahkan kasih sayangnya yang utuh pada waktu sang putera masih kecil.
Renungan seperti itu kalau sering-sering dilakukan akan membuat sang putera akan mendapat kenikmatan “hakiki” karena ia merasa puteranya ibu dan merasa puteranya ayah. Itulah nikmat dan kalau dihayati secara mendalam akan membuahkan kebahagiaan.
Untuk itu kita baca dengan hati yang khusuk doa “rabbighfirli wa liwalidaiya warham huma kama rabbayaani shaghiira”. Dibaca dan ditunjukkna kepada Allah dengan kesadaran kepada diri puteranya ibu dan puteranya ayah.
Hal ini pentiang menjadi bahan renungan agar kita sebagai putera dapat memberikan segala yang bernilai kepada ibu dan ayah.
Bahkan ada seorang anak yang biasa tampil di atas mimbar, lebih merasa percaya diri ketika ia tampil dengan yakin bahwa dirinya putera ibunya dan putera ayahnya. Bahwa diri adalah kelanjutan denyut darah dari ibu dan ayah. Perasaan-perasaan merasa bahwa diri ini seorang hamba Allah yang merupakan kelangsungan dari sejarahnya ayah dan ibu akan membuat sesibilitas dan penghayatan benar-benar menemukan hidup yang nikmat dan pada puncaknya menemukan “madunya kebahagiaan” bahagia karena sadar bahwa diri ini puteranya ibu dan puteranya ayah.
Kecerdasan merasa berhutang budi kepada ayah bunda itu akan lebih cerdas lagi kalau bisa menumbuhkan ras “terima kasih” yang dalam. Rasa terima kasih itulah yang seharusnya menimbulkan sikap akan melakukan yang terbaik kepada ayah dan ibu.
Ada anak ingin memperlakukan ibu dan ayahnya dengan total sebagaiman ia “ingin melakukannya”.  Itu memang bak. Perlakuan yang terbaik “menurut ia” benar-benar ia lakukan. Tapi itu sebenarnya belum cukup, masih ada yang lebih baik daripada itu. Yaitu seorang anak berbuat bukan sekeda melakukan “apa yang ingin ia persembahkan” lebih dari itu ia berbuat sesuai dnegan apa yang ibu dan ayah inginkan dari kita.
Kadang seorang anak merasa berbuat yang terbaik padahal itu tidak diinginkan oleh ibu dan ayah. Itu perakuan yang kurang bermakna. Yang baik, seorang anak harus pandai membaca hati kedua orang tua. Kalau tidak, lebih baik ditanyakan langsung, apa yang ibu dan ayah inginkan dari kita.

1 komentar:

  1. tidak semua ibu mengetahui bagaimana sesungguhnya menjadi ibu yang sesuai ajaran Rosulullah. menurut saya tulisan ini bagus sekali jika dibaca oleh semua ibu di Indonesia. Barakallah!

    BalasHapus