Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Ziarah


*Qurrotul A'yun

Sekuntum kamboja putih terlepas dari tangkainya, jatuh tersangkut pada kerudung yang membalut kepalamu. Putihnya beradu dengan putih kerudungmu yang mulai pudar. Kamboja itu seolah berucap selamat datang kepadamu. Kau memungutnya perlahan. Lalu menaruh kamboja itu ke dalam keranjang berisi mawar dan kenanga yang wanginya seantiasa menemani ziarahmu dalam sepekan ini.

Langkah berhenti pada sebuah gundukan tanah yang masih merah. Dalam sekejab, mawar, kenanga dan sekuntum kamboja dalam keranjangmu telah rata kau taburkan di atas pusara itu.
“Ini bukti kesetiaanku, kang…” gumammu memecah hening area pemakaman. Perlahan kau buka mushaf kecil yang kau bawa. Hingga larut dalam ayat-ayat yang kau baca. Bibirmu tak henti merapal doa. Sedang air matamu turut mengamininya. Membentuk sungai kecil yang mengalir membelah pipimu yang telah keriput dimakan usia.
Angin mendesir pelan, menggugurkan beberapa kuntum kamboja dan dedaunan yang kuning menua. Kau masih khusyuk dalam semesta doa. Lirih suaramu menyebut sebuah nama, lalu mengikatnya dengan simpul-simpul tawashul yang kau baca.
“Suparman” begitulah nama itu kau sebut dalam tiap doamu. Nama yang kini tertulis pada nisan di hadapanmu. Nama itu pula yang hingga kini masih lekat di sudut hatimu yang paling sunyi. Meski sang pemilik nama pernah mencekokimu dengan kenyataan sepahit buah maja yang harus kau cecap di usia belia.
Empat belas tahun usiamu saat kedua orangtuamu mengenalkan lelaki bernama Suparman itu sebagai calon suamimu. Kau pun tertunduk malu, tak kuasa dengan tatapan mata elang Suparman yang menusuk tajam. Sedang ia hanya mesam-mesem sambil menikmati paras ayumu.
Sebagai perempuan, saat itu kau hanya pasrah pada kehendak orangtuamu. “Tresno jalaran songko kulino,” bisik simbokmu. Dan hatimu membenarkannya. Lagi pula, Suparman dipandang cukup berpendidikan. Ia sempat menamatkan Sekolah Rakyat. Dan saat ini bekerja di sebuah toko sepeda pancal milik seorang pedagang dari Cina. Dengan segala kelebihan yang dimiliki Suparman, keluargamu merasa terhormat menerima pinangan pemuda itu. Sementara jauh di lubuk hatimu, ada sebersit rasa minder yang kau pendam. Kau merasa tak punya kelebihan apa-apa untuk mendampingi Suparman. Bahkan baca tulis saja kau tak mengerti, sebab orangtuamu memang tak pernah menyekolahkanmu. Mereka hanya mengajarimu mengeja alif ba ta, selebihnya kau belajar menanak nasi, mengolah sayur, dan seabrek pekerjaan rumah tangga lainnya.
“Nduk, kamu cah wedok nggak perlu sekolah. Yang penting bisa masak enak pasti disayang suami,” simbokmu menasehati. Seperti sebuah sabda, kata-kata simbokmu selalu kau pegang.
* * * * *
Satu tahun usia rumah tangga yang kau bangun bersama Suparman. Tresno jalaran songko kulino itupun terbukti. Untuk pertama dan terakhir kalinya kau jatuh cinta. Cinta yang tumbuh karena kebiasaan, yang semakin subur dengan hadirnya janin yang menghuni rahimmu. Saat itu kau merasa menjadi perempuan yang begitu sempurna. Terlebih, Suparman sangat memanjakanmu.
“Aku ngredit sepeda sama Tacik, besok sudah bisa kubawa pulang. Biar nggak usah pinjam sama Lek Supri kalau kamu ingin jalan-jalan sore,” ujar suamimu saat ia baru saja pulang kerja.
“Apa cukup bayarane sampean, kang?” tanyamu ragu.
“Tacik itu baik, sudahlah jangan pikirkan itu. Sekarang kau tanda tangani dulu surat ini,”
“Kang, ini surat apa?. Tanda tangan piye?”
“Ini surat persetujuan kredit sepeda. Sini, pakai cap jempol saja,”
Suparman meraih jemarimu. Lalu mengoleskan sedikit tinta dan meletakkan jempolmu pada selembar surat hingga membentuk sebuah “cap jempol”. Bibirmu tak henti menguntum senyum. Terharu atas sikap manis suami yang sangat kau cintai. Tanpa kau tahu, ternyata cap jempol itulah akhir dari kebahagiaanmu. Surat itu adalah surat persetujuan poligami yang diminta oleh keluarga pedagang sepeda dari Cina itu, sebab anak gadis mereka jatuh hati pada Suparman. Begitu pula suamimu, membalas cintanya tanpa mau kehilanganmu. Hingga ia memanfaatkan ketidaktahuanmu untuk mencuri izin poligami.
Sejak saat itu kau tak lagi percaya pada perkataan simbokmu bahwa perempuan tak perlu sekolah, cukup bisa masak enak, itu saja. Bagimu, perempuan harus berpendidikan tinggi agar tak dibohongi oleh lelaki. Karena itulah kau berjanji pada dirimu sendiri untuk berjuang mati-matian membiayai pendidikan anakmu setelah ia lahir nanti. Kau tak lagi peduli dengan suamimu yang telah kepincut gadis bermata sipit dan berkulit putih itu. Bahkan kau berharap lupa ingatan untuk menghapus semua kenangan tentang suamimu yang lebih memilih tinggal bersama istri keduanya.
Namun nyatanya kau tak pernah bisa melupakannya. Semakin kau berusaha keras menghapus bayangnya, justru bayang itu semakin nyata. Kau masih sangat mencintainya. Meski kebencian juga bercampur aduk menggerogoti bangunan cintamu. Tetapi akhirnya, cintamu berhasil mengusir benci. Dan hingga saat ini, meski jasad Suparman telah terbaring di dalam tanah kau masih menunjukkan cintamu dengan ziarah yang tak pernah lelah.
“Jika kau tak membohongi aku, mungkin anak kita tak akan pernah merasakan bangku sekolah. Dan mungkin juga akan bernasib seperti aku. Tapi kau tahu sendiri kan? Sekarang anak kita telah menjadi guru, dia tak hanya pintar tetapi juga akan memintarkan orang lain,”. Senyummu mengembang dalam tangis, antara bangga pada putrimu namun juga sedih atas kepergian suami yang telah menyakitimu.

*Penulis adalah mahasiswi STAIN Jember, Jatim

0 komentar:

Posting Komentar