Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

LIDAH, BERZIKIRLAH

*Sajak D. Zawawi Imron





YA, Allah! Engkau yang mengajar aku dengan kata-kata
maka aku pun bicara
Engkau beri aku lidah, lalu kusebut nama-Mu
Tapi aneh diriku ini
Kusebut Engkau dengan lidahku
tapi dalam hati tak kuingat Engkau
Aku bersujud menyebut-Mu
yang terbayang pada anganku kemewahan dunia
Aku zikir menyapa-Mu
yang kubayangkan senyuman setan

Lidah, lidah! Lidah milikku, lidah sayangku,
Tugasmu memang bicara
tapi mengapa engkau berdusta
Mataku melihat daun, kau menyebutnya akar
Mataku melihat gunung, kau bilang itu laut
Mataku melihat racun, kau yang menyebutnya obat
Mataku melihat maling, kau yang bilang guru
Mataku melihat bangkai, kau yang mengatakan halal
Mataku melihat mayat, kau yang meyakinkan tidur
Kenapa bohong jadi silatmu
Mengapa setan jadi imammu?

Lidah, lidahku!
Di sela-sela alunan ayat kau memilih sesat
Gerak gerikmu jadi sejalin dengan hawa nafsu
Sedang kejujuran kau pasung dalam lingkaran

Mengapa, mengapa, mengapa engkau tidak lari
mencari fitrah, menemukan hati nurani?
Dalam fitrah kau mudah bertemu Allah
Dalam nurani kau temukan lembutnya Kasih Ilahi

Lidah, lidahku!
Selama ini, kau ngomong indahnya fitrah
tapi yang kau tabur fitnah

Lidah! Cepatlah bertobat kepada Allah
Sebutlah asma Allah sampai gempa, sampai gempar
di dalam hati
agar hati jadi sumber, jadi bengawan
jadi lautan yang bergelora
dalam zikir
Allah Allah Allah

Alam semesta ini berasal dari tak ada
Hanya Allah yang memang ada
yang selalu ada, dan tak pernah tidak ada
Lailaaha illallah
Alam semesta ini ada
karena Allah yang membuatnya ada
Lailaaha illallah

Lidah! Sucikan nama Allah! Subhanallah
Ingatlah lidah! Jangan kau jadi pisau
yang melukai hati saudaramu dan hati bangsamu! Astaghfirullah
Berhentilah berdusta! Astaghfirullah
Berhentilah mengadu domba! Astaghfirullah
Lidah! Berzikirlah! Allah Allah Allah
Terus zikir, zikir, zikir, Allah Allah Allah
sampai dendam kesumat, iri, dengki, sombong, takabbur,
yang telah jadi karat di dalam hati
terusir, lebur dan pergi .......
Astaghfirullah
Astaghfirullah
Astaghfirullah

Lidah, sayangku
Bersujudlah engkau
Kepada
Allah! 


D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007). Dari khalayak pembaca luas, D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura.


Seperti Kwan To Melengkung di Kampung Pesaren


Kapal-kapal itu selalu muncul dari balik kabut di tengah laut. Muncul begitu saja laksana kapal hantu. Tidak ada pertanda isyarat atau lampu. Bahkan derunya begitu lamat membelah riak gelombang. Ya, kapal-kapal itu muncul begitu saja dari balik kabut. Tak teraba arah datangnya, tiba-tiba sudah di depan mata para nelayan, menyorongkan lambungnya yang hitam kokoh. Angkuh betul seolah merekalah empunya lautan, merintangi jalan atau kadang melaju kencang, seolah hendak menerjang siapa saja yang berani menghadang haluan. Telah kerap mereka merobek pukat yang ditebarkan, menabrak bagan, atau bahkan menderu ke arah perahu-perahu sampan, hingga berlompatanlah para nelayan, menceburkan diri ke dingin air laut menjelang fajar.
            Demikianlah sejak sekian tahun yang lalu mereka datang. Tidak diundang dan seolah ingin mengekalkan hukum lama di lautan: siapa yang kuat, ia yang menang! Tak pernah jelas benar dari mana mereka bertandang (Ya, lantaran telah lama panji dan bendera memang tak lagi menjadi lambang), dan kian meraja pada tahun-tahun belakangan.
Tak ada yang mampu memberi mereka sekadar pelajaran. Karena seperti juga datangnya, mereka pun pergi menghilang (Tentu, setelah menguras ikan-ikan dengan trawl) tanpa jejak dengan lamat suara. Seakan lenyap begitu saja ditelan lautan, ke balik kabut tebal yang mengambang di atas gelombang. Atau, konon karena yang berwenang tak cukup menggubris keluhan di sepanjang pesisiran, walau telah sekian waktu kapal-kapal itu menebarkan keresahan (jelas sudah bala bencana!) kepada  nelayan.
            Hm, lautan! Siapa yang dapat menyelami misteri kandungannya? Penuh kemungkinan yang tak terduga, juga perkara! Dan seringkali mautlah akhir petaruhannya. Maka, dulu ketika A Hauw mengumpulkan segenap penghuni kampung Pesaren—orang-orang bermata sipit berkulit legam yang menggantungkan harapan dan masa depan pada asinnya air laut—untuk melawan meski tahu tipis harapan bakal menang, Paman Cung sebagai kepala dusun hanya menghela nafas panjang.
            “Apa sudah kalian pikirkan masak-masak semuanya?” air muka lelaki paroh baya itu sekeruh mendung yang menggantung di atas laut. Tapi wajah-wajah yang berkumpul telah garang membesi, dengan kesumat dendam tersirat di mata berbaur kecemasan.
Ai, di antara perempuan-perempuan yang ikut berkumpul di tepi pantai saat itu, Kim Moy—sambil menggandeng tangan anak laki-lakinya yang baru berumur lima tahun setengah—diam-diam menyusut air mata yang berlelehan. 

***

Telah kukatakan di atas, kapal-kapal itu selalu muncul begitu saja dari balik kabut tebal. Menderu dalam lamat suara yang tertelan gemuruh ombak. Kadangkala,  lambungnya yang hitam kokoh tampak berkilau oleh cahaya bulan yang menyeruak dari balik gumpalan awan. O, di bawah terang purnama yang membuat air laut berkemilau, kapal-kapal itu laksana raksasa menyeramkan. Begitu mencekam dan mengancam.
            Hingga tak heran, di kampung Pesaren pun kemudian terlahir dongeng-dongeng seram. Yang acapkali tercipta lantaran niat baik semata, oleh para orang tua yang ingin menakut-nakuti anak-anaknya agar tak nakal, bawel dan suka melawan. Apabila kalian mampir ke kampung kami, masih akan sering mendengar ancaman itu terlontar dari mulut para ibu: “Jangan main ke laut kalau sudah gelap, Moi! Ada raksasa yang suka makan anak-anak!” atau “Sudah malam, masuklah ke rumah, Ku! Nanti kau dibawa kapal hantu seperti bapaknya A Kwet!”. 
            Memang, sejak sekian tahun silam, puluhan orang telah hilang tak berkabar. Atau kalau ditemukan sudah membengkak biru di pantai seberang (Syahdan, dikembalikan laut lantaran baik perangai dalam menjaring ikan, yakin orang-orang), di dekat Pulau Lampu hingga ke tepian Pulau Dua yang kerap terucapkan dalam sebuah pantun lama. Bapaknya A Kwet yang suka disebut misalnya, suatu ketika pergi melaut sebagaimana biasa bersama seorang keponakan, sempat berpesan pamit pada anak istri namun tak pernah kembali. Lenyap begitu saja ditelan luas lautan, meninggalkan nama, sedu-sedan anak-istri dan teka-teki, paling tidak kemudian ancaman yang terlontar pada anak-anak nakal itu.
            Anak-anak yang berkarib dengan nasib tak menentu! Nasib yang digariskan oleh samar garis pantai dan lautan, laiknya permainan judi kartu Kiu-kiu alias Sembilan-sembilan. Ya, semenjak kecil mereka seakan telah diharuskan untuk belajar bertaruh nasib—belajar pula menikmatinya—seperti mereka belajar bertaruh di atas meja judi.
Di kampung kami, judi memang sudah menjadi kerutinan, mungkin hampir seperti sarapan. Semangat membanting kartu, teriakan girang mendapatkan jumlah sembilan atau umpatan kotor atas kartu buruk, adalah pemandangan dan irama keseharian di tiap sudut kampung. Dan kami, entah sejak kapan, menafsirnya seirama dengan menebar jaring di lautan.
Ada gairah yang serupa tersimpan. Meja judi dan lautan, kartu dan jaring, betapa mendebarkannya di dada kami, membakar darah kami. Nasib untung atau buntung hanyalah petaruhan semata. Tidak lelaki atau perempuan, tua atau muda.
Bagi kaum lelaki, sehabis pulang melaut, kartu-kartu dengan segelas kopi kental adalah pelepas penat yang istimewa, pembalik gairah yang manjur buat menantang lagi ganas lautan. Betapa nikmat satu ketegangan dibasuh dengan ketegangan yang lain. Untuk yang kurang beruntung di lautan—yang membawa pulang sedikit tangkapan atau tidak sama sekali—senantiasa ada harapan tersembunyi di balik kartu-kartu, siapa tahu nasib yang lebih mujur menanti di atas meja, meski ujung-ujungnya seringkali buntung lagi! Pun yang membawa pulang berkah lautan, apa salahnya merayakan kemenangan semalaman dengan bergembira bersama angka-angka, siapa yang bisa menduga kalau kemujuran datang berganda? Walau kenyataannya lebih kerap ikan-ikan besar dan segar ludes di atas meja taruhan! Terang dongkol dan sakit hati, tetapi selalu badan yang penat oleh ombak lautan kembali disegarkan oleh gairah membanting kartu di atas meja.
            Sedang bagi kaum perempuan, di tepi pantai yang sepi, hiburan apalagi yang dapat menggantikan rewel anak minta inang dan pengap asap dapur? Sambil bergunjing, untuk sesaat melupakan rasa cemas menanti suami pulang dari laut, apa salahnya mempertaruhkan sisa uang belanja?   

***
Entahlah, mendung yang menggantung di langit pada malam suaminya mengumpulkan segenap penghuni kampung Pesaren itu, di mata Kim Moy terlihat seperti kartu-kartu buruk yang terpentang. Bukankah sedari kecil ia telah lihai membaca kartu, bahkan mahir menangkap isyarat mujur atau buntung cukup hanya melihat dua kartu awal?
            Tapi apa dayanya mencegah A Hauw dan para lelaki kampung lainnya yang telah meradang sekian lama lantaran kapal-kapal asing yang terus bertandang membajak harapan di balik kartu-kartu itu? Maka sambil menahan isak, ia hanya bisa menarik tangan anak lelakinya menjauh dari tepi pantai.    
            Kini Nen Ku, anak semata wayang itu baru saja berulang tahun ke sembilan (ai, angka tertinggi dalam judi Kiu-kiu!), tak pernah gentar pada dongeng dan mengabaikan setiap ujar-ujar mengancam. Setiapkali bocah itu memandang ke laut, entah kenapa, Kim Moy seolah merasa kedua mata anaknya seperti hendak menantang gemuruh ombak Laut Cina Selatan (atau para penjarah) yang telah merampas sang bapak. Penuh kemarahan, persis mata A Hauw suaminya. Dan bila sudah begitu, Kim Moy sering tergetar, lalu rasa nyeri kembali terasa menusuk dadanya, terkadang tak mampu ia menahan kesedihan yang berulang meleleh. 
            Seperti juga malam ini, Nen Ku tampak berdiri tak bergerak di tepi pantai. Berjaket usang. Ingin rasanya Kim Moy berlari ke pantai dan menyeretnya pulang, tetapi kakinya seolah tak kuasa digerakkan. Ia hanya terpaku menatap anaknya dari kejauhan, dan betapa ia membayangkan yang berdiri di sana adalah A Hauw.
            A Hauw, lelaki yang keras hati itu. Yang bersikukuh melamarnya meski orang tuanya tak merestui. Kim Moy yakin, tentu bukan perkara mereka bershio sama dan karena itu konon kurang baik menikah, sebagaimana alasan bapaknya. Tapi Lim Cai, anak tertua Tauke Lim ternyata menyukainya dan diam-diam telah menyuruh orang membisiki kedua orang tuanya. Tentu, di mata orang tuanya, dibandingkan dengan Lim Cai, A Hauw ibarat angka 6 yang tak malu menantang angka 9! Tapi begitulah, kendati berangka rendah, pas-pasan, A Hauw tak gentar menyorongkan tantangan sebagaimana permainan kartu Peh alias Poker! Baginya angka 6 bukan angka terakhir, permainan belumlah selesai. Masih banyak trik lagi yang belum dikeluarkan, dalam putaran kedua, ketiga, dan seterusnya. Siapa tahu tiga lembar As atau malah deretan kartu tertinggi menanti, seperti masa depan yang tak terduga! Kartu, bukankah alangkah serupa dengan laut yang gelap berahasia? Dan bagi A Hauw adalah amsal hidup itu sendiri.
            Tapi orang tuanya tak juga luluh, apalagi konon Lim Cai telah beriming-iming segala harta. Mereka pun nekat! Suatu malam bulan mati, ia masih ingat waktu itu menjelang hari raya Peh Cun1, ia menyerahkan segalanya kepada A Hauw. Ahai, di tepi pantai Pesaren, di balik sebuah perahu rusak tertambat dekat sisa pondok warung, mereka bergoyang hingga dini hari!
            Ketika akhirnya ia hamil—tentu, toh apa yang mereka perbuat di malam bulan mati itu terus saja berulang, orang tuanya marah bukan alang kepalang. Namun mau tak mau, melepaskannya dengan tak ikhlas kepada A Hauw. Dan tampak merengut begitu masam tatkala menerima suguhan teh mereka saat Liang Pai2 pernikahan. Ya, apa boleh buat, barang yang sudah bolong terang tak lagi laku dijual! Tentu saja Lim Cai mundur bergegas sambil mengumpat-mencaci!
            Dan kini, ia mengenang lagi semua itu dengan dada yang semakin sesak melihat anak lelakinya berdiri termangu di tepi pantai. Sementara di langit, bulan tampak melengkung bagaikan golok suci Kwan To3. Angin yang berhembus kencang menghempaskan daun jendela, daun-daun nyiur yang menjulang sepanjang pantai bergemerisik riuh. Bagaimana pun, sebagai ibu, ia ingin sekali merengkuh Nen Ku ke balik selimut. Tetapi lagi-lagi langkahnya tertahan oleh butiran air mata lantaran kata-kata anak lelakinya itu pagi tadi terngiang kembali, tepat benar menohok ulu hati.
            “Umurku hari ini sudah sembilan tahun, Ma. Papa dulu bilang, aku boleh ikut melaut, boleh tidur di bagan kalau sudah sembilan tahun,” gumam Nen Ku yang baru pulang sekolah sambil melahap bubur ayam buatannya. Kim Moy bagai tersentak, piring yang sedang dicucinya nyaris saja terlepas dari tangan. Sehingga Dominikus, perantau jauh asal Flores yang telah lama berdiam di kampung Pesaren itu, yang kebetulan lewat di depan rumah kaget dan menghentikan langkah. Tiba-tiba saja lelaki hitam keriting itu sudah ada di depan pintu. Mereka saling bertatapan untuk sesaat.
            “Kalau mau melaut, malam nanti ikut perahu Oom saja! Oom tunggu di tepi pantai!” tukas lelaki yang masih membujang itu pada Nen Ku lalu bergegas berlalu setelah mengangguk padanya. Kim Moy tertegun, dan tiba-tiba merasa begitu gelisah. Entah kenapa! Ia tahu, Domi diam-diam suka meliriknya bila berpapasan dan kerap gugup kalau bicara berhadapan. Malah beberapa kali dengan malu-malu, lelaki itu sempat menawarkan diri mengantarnya dengan sepeda motor ketika ia sedang menunggu bus “Gobu” hendak pergi belanja ke kota kecamatan. Namun selalu ia tolak dengan halus.

***

Semoga ia bertepat janji! Batin Kim Moy dalam hati. Atau ia harus segera menyeret Nen Ku pulang, tak tahan lagi melihat si anak semata wayang sendirian berangin malam menunggu di tepi pantai. Sudah lewat jam sepuluh, perahu-perahu lain sudah berangkat ke bagan. Kenapa Domi belum pula muncul? Kim Moy kian gelisah.
            Akhirnya ia melihat lelaki itu juga, muncul dari balik kelebatan semak-semak belukar tepi pantai dengan lampu stromking bergoyang-goyang di tangan kanan sementara tangan kirinya menyeret jaring. Nen Ku tampak berpaling dan segera berlari menyongsong lelaki itu. Dari pintu rumah, Kim Moy menyaksikan keduanya berjalan beriringan ke laut, lalu berhenti pada tambatan sebuah perahu. Ia bergegas mencari sandal jepitnya, menyambar senter yang tergantung di samping pintu, menuruni tangga, dan berlari ke pantai.
            “Kenapa Mama menyusul kemari?” tanya anaknya ketika ia sampai di pinggir pantai dengan nafas ngos-ngosan. Ia mengatur nafas dan bertabrakan mata dengan Dominikus. Lelaki itu tersenyum.
            “Hati-hati di laut Nak, jangan omong jorok sembarangan, nurut sama Oom Domi ya?” Tak tahan, direngkuhnya tubuh Nen Ku dan diciuminya ubun-ubun anak lelakinya. Seharusnya ia melarang Nen Ku pergi. Tapi sekali lagi, ia tahu, sebagaimana A Hauw, anak lelakinya itu nyata mewarisi sifat keras hati dan keras kepala sang bapak. Susah untuk dibantah apabila sudah punya kehendak! Akhirnya ia berpaling pada Domi dengan ragu, “Saya titip anak saya, Bang.”
            “Tenang saja Ce, saya tidak terlampau jauh ke tengah,” lelaki itu tersenyum lebar, mencoba meyakinkannya. Ia segera mengerti, kalau lelaki itu tak melaut benar malam ini selain sekadar menemani anaknya.
            Ia hanya melambai ketika perahu sampan itu melaju membelah ombak dengan deru motor yang bising, membawa serta anaknya. Tapi lagi-lagi, tetap saja ia tak bisa menahan air mata. Seiring perahu motor yang kian menjauh, ia seolah melihat lagi pemandangan pada malam yang mendung itu. Ketika semua lelaki kampung berarak ke kelenteng Kwan Ti di tengah kampung dipimpin suaminya. Semuanya dengan takzim membakar hio di depan altar sang dewa, mengucapkan doa memohon perlindungan sebelum akhirnya membawa kertas-kertas phu4 ke tepi pantai, membakar dan melarungkan abu kertas-kertas berisi mantera dewata itu ke laut.
            Tapi A Hauw tak pernah kembali. Hanya kemejanya yang basah oleh air laut bercampur darah!
            Ia menggigit bibir menahan suara tangis ketika perahu sampan yang membawa anaknya tinggal setitik kerlip dalam gelap di antara kabut yang mulai turun di kejauhan. Di langit, tampak olehnya bulan sabit masih tergantung muram. Menyerupai golok suci Kwan To milik Dewa Kwan Ti, sang dewa perang… Dan mendadak ia menggigil membayangkan kapal-kapal itu bermunculan lagi dari balik kabut tebal yang mengambang. Entah kenapa, dalam benaknya terpentang pula kartu-kartu yang berjumlah buntung di atas meja petaruhan!(*)                                                                                                         
                                                                                                                                                                          
Catatan
  1. Pesta Laut setiap tanggal 5 bulan Go Gwee Imlek, masih rutin digelar oleh masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka.
  2. Menghantarkan teh kepada orang tua dalam adat pernikahan Cina.
  3. Golok lengkung bercula yang bertangkai panjang milik Dewa Kwan Ti (baca epos SAM KOK—The Three Kingdom).
  4. Kertas kuning persegi panjang yang ditulisi mantera sebagai jimat/ penangkal bala.

¨ Sunlie Thomas Alexander, mahasiswi Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, esai, dan catatan sepakbola di berbagai media, baik cetak maupun online. Buku cerpennya yang telah terbit berjudul Malam Buta Yin (Gama Media, 2009). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buah bukunya yang lain, Istri Muda Dewa Dapur (kumpulan cerpen) dan Sisik Ular Tangga (kumpulan puisi). Ia aktif di Parikesit Institute, Yogyakarta dan mengelola sebuah penerbit indie, Ladang Pustaka.  Email: ladangbiru2@gmail.com
No. Kontak: 0852-6732-8612


Kata Berkesan Mengantar Kesuksesan


*Drs. Najib Sulhan, MA


Mereka itulah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka, karena itu berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas/berkesan pada jiwa mereka. (Q.S. 4/An-Nisa’:63)
Setiap kata yang terucap selalu mengandung sebuah makna. Ada yang bermakna positif dan ada yang bermakna negatif. Kata yang positif akan selalu teringat dan bisa menjadi dorongan yang cukup berarti bagi yang menerimanya. Begitu juga kata negatif akan menjadi virus penghalang menuju kesuksesan. Dengan kata lain bahwa kata-kata yang berkesan positif dapat mengantara kesuksesan. Sebaliknya, kata-kata negatif menghambat kesuksesan.
Kata-kata yang berkesan adalah ucapan yang berbekas sampai lubuk hati orang yang diajak bicara. Terkait dengan cara komunikasi, maka qoulan baligho diartikan sebagai cara mengungkapkan kata yang bisa menyentuh dan berpengaruh positif pada hati sanubari orang yang diajak bicara. Dilihat dari segi sasaran atau ranah yang disentuhnya dapat diartikan bahwa qoulan baligho adalah ucapan efektif.
            Kata yang berkesan mengandung pengertian kata-kata motivasi yang bisa menjadi dorongan atau semangat untuk menapaki hidup. Kata positif yang berkesan memiliki kekuatan yang dahsyat. Apapun akan bisa dilalui, jika kata-kata positif sudah merasuk dan menjadi bagian hidup. Seseorang akan berubah pandangan setelah menerima kata-kata motivasi yang kuat. Orang yang malas menjadi lebih giat. Orang yang putus asa menjadi gairah kembali. Orang yang lemah menjadi kuat. Orang yang pesimis bisa menjadi optimis.
            Masih ingat kisah di dalam film laskar pelangi. Bagaimana cara bu Muslimah menanamkan keyakinan kepada anak didiknya yang tergolong dari kalangan yang kurang mampu. Bukan merendahkan anak-anak di hadapan anak yang lain, tetapi memberikan kata-kata yang berbekas atau kata-kata yang berkesan. Kata-kata itu sampai tersimpan dalam memori yang cukup panjang. Itulah yang membuat anak-anaknya sukses.
            Begitu juga tentang kisah Andi F. Noya yang notabene adalah dari kalangan keluarga biasa. Akan tetapi kata-kata guru, Bu Ana,yang membuat diri Andi termotivasi untuk menjadi seorang wartawan seperti saat ini. Kata-kata semangat bu Ana menjadi magnetpenguat bagi Andi F. Noya untuk bisa menggapai sukses dalam dunia kewartawanan.
Dalam sebuah kisahnya, Andi F. Noya memiliki latar belakang yang agak unik. Ketika SD Andi tergolong anak yang cerdas, tetapi jarang masuk sekolah. Suatu ketika Andi diikutkan lomba antar kelas di tingkat kecamatan. Andi tahu diri, sehingga ia menolak tawaran itu. Namun Bu Ana tetap menunjuk Andi sebagai wakil dari kelas 4. Bu Ana pun rela setiap hari harus memberikan pelajaran tambahan.
            Melalui bu bimbingan bu Ana, Andi mengikutilomba itu. Akhirnya, ketika panitia mengumumkan pemenangnya, ternyata Andi urutan pertama dari belakang, alias gagal. Andi merasa bersalah karena belum bisa menjadi juara. Pada saat seperi itu, Andi minta maaf kepada Bu Ana. yang telah memberikan kepercayaan. Namun dengan saikap yang bijak dan bahasa yang baik, Bu Ana menyampaikan pesan kepada Andi,”Andi kamu bukan kalah. Kamu anak yang hebat. Dengan kepandaianmu membuat karangan, kamu akan menjadi wartawan yang sukses .”
            Kata-kata itu sederhana.namun kata-kata itu sangat berkesan bagi Andi F. Noya. Kata-kata itu selalu terbawa ketika masuk di SMP dan juga saat di STM. Bahkan Andi selalu menanyakan kepada guru yang ditemui tentang arti wartawan. Kata ”wartawan” dan kata ”sukses” itu menjadi kunci.
Karena cerdas, Andi pun mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi negeri yang sangat bergengsi. Beberapa waktu dijalani. Namun kata-kata Bu Anak selalu tersimpan dalam memori dan kata-kata itu membekas selamanya dan tak terhapuskan. Ia meyakini kata-kata gurunya bahwa kalau ia menjadi wartawan akan sukses. Maka keluarlah ia dan menekuni sebagai wartawan. Kini Andi F. Noya menjadi orang yang sukses di bidang kewartawanan. Menjadi pimpinan redaksi di Metro TV, bahkan acara Kick Andi adalah acara yang paling diminati.
            Sungguh, kekuatan kata sangat membekas dalam diri seseorang. Jika kata itu diucapkan dari hati nurani yang ikhlas dengan kata yang penuh dorongan positif, maka akan membekas untuk selamanya. Kemungkinan kita juga menyimpan banyak memori kata motivasi yang membuat diri semangat. Kebanyakan orang-orang yang mampu menggapai kesuksesan mempunyai dorongan kata-kata yang positif.
             

Lukisan Pagi


LUKA I
- untuk saudaraku Palestina

Bila luka-luka itu sampai mataku
Sampai batinku sampai rinduku
Sampai pulakah hatiku mengabarkan
Bahwa perempuan-perempuan yang menggelepar itu
Adalah puisi yang paling sunyi?

Purwokerto, November 2012
        

LUKA II

Ketika wajah seorang ibu berpupur darah
Berlumur luka dalam doa
Di sepasang bulat matanya nerawang jauh
Airmata itu membasahi pelupuk
Hingga ke lubuk

Sepertinya amnesia semua ingatan
Di mana rumah, di mana hewan ternak, dimana pohon-pohon?
Di mana hamparan karpet rumput?
Di mana kubah masjid kehijauan dengan adzan?

Di mana suamiku, di mana anak-anakku?
Di mana sepasang bulat mataku sepertinya membatu?
Darah-darah telah memahatnya menjadi
Kidung pagi yang dipenuhi dengan sangsi, tanpa matahari

Purwokerto, November 2012


LUKISAN PAGI
- sesudah Subuh

1)
Pagi ini, embun masih temaram di kelopak mata
Tengadah dalam doa yang rekah

2)
Ketika doa-doa dipanjatkan
Daun-daun merunduk
Pohon-pohon tertunduk
Meneteskan airmata doa

3)
Usai menerbangkan doa-doa
Engkau sembunyi di balik pagi

Purwokerto, Desember 2012


AIR ZAM-ZAM

Terimalah
Sebagai hadiah dari Makkah
Kelak
Bersemburat di balik air zam-zam itu
Cahaya yang entah
Kerinduan yang indah

Purwokerto, Desember 2012





Yanwi Mudrikah lahir di Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, 12 Agustus 1989. Cerpennya dalam buku Bukan Perempuan (STAIN Press, 2010). Puisinya dalam buku Pilar Penyai (Obsesi Press, 2011), Bunga Rampai Buku Puisi Pilarisme (An-Najah Press, 2012). Dia lulus Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.) dari Komunikasi Penyiaran Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Kerja Cerdas


×ptƒ#uäur ãNçl°; ÞÚöF{$# èptGøyJø9$# $yg»uZ÷uômr& $oYô_{÷zr&ur $pk÷]ÏB ${7ym çm÷YÏJsù tbqè=à2ù'tƒ ÇÌÌÈ   $oYù=yèy_ur $ygŠÏù ;M»¨Zy_ `ÏiB 9@ŠÏƒ¯U 5=»oYôãr&ur $tRö¤fsùur $pkŽÏù z`ÏB Èbqããèø9$# ÇÌÍÈ   (#qè=à2ù'uÏ9 `ÏB ¾Ín̍yJrO $tBur çm÷Gn=ÏJtã öNÍgƒÏ÷ƒr& ( Ÿxsùr& tbrãà6ô±o ÇÌÎÈ  
“Dan, suatu tanda [ke-Mahakuasaan Allah] bagi mereka, adalah bumi yang mati. KAMI hidupkan bumi itu. Kemudian, KAMI keluarkan dari bumi itu biji-bijian. Maka, dari hasil bumi itu mereka makan.33 Lalu, KAMI jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur. Juga, KAMI pancarkan pada bumi itu beberapa mata air,34 supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka, mengapakah mereka tidak bersyukur?35” (Qs.Yasin [36]: 33-35).

Bumi merupakan media kebangkitan umat manusia untuk menggapai ridlaNYA. Maka, manusia yang tidak dapat menjaga amanah Tuhan YME yang berupa bumi dengan segala kelengkapannya, ia pasti kelak dimintai pertanggung-jawaban olehNYA.
                Kuncinya, “Kerja Cerdas”. Kerja yang menjadikan masyarakat dan umat manusia menjadi: Sehat; Sejahtera; dan Bahagia (SSB). Kerja yang menjadikan mereka yang bekerja hidupnya semakin SSB.
                Keberadaan bumi tidak untuk individual an sich. Tetapi, bumi harus dipergunakan di dalam pertemanan tanpa tepi dengan bingkai kebersamaan (ma’iah) dan ke-kita-aan (nahniah). Sehingga bumi benar-benar menjadi jalan pencapaian rahmatal lil alamin. Yakni, segenap penduduk bumi CC dengan “Rahmah Kemanusian & Ramah Lingkungan”.
                “Kerja Cerdas” membutuhkan semangat “ma’iah & nahniah” sekaligus, karena bumi ini adalah bumi kita bukan bumi milik sekelompok ras tertentu. Siapapun tidak dapat mengklaim bahwa mereka yang paling berhak atas bumi. Setiap manusia dari kehidupan umat manusia justru harus terikat dan mengikat kuat dengan Pertemanan Tanpa Tepi (PTT) yang terbingkai ke dalam koridor semangat hidup rahmatal lil alamin.
                Setiap orang yang hidup di dunia tidak boleh mengedepankan dan mengembangkan ananiah (egoisme). Ananiah adalah pangkal kerusakan diri sendiri sebab orang yang bersikap ananiah memiliki kecenderungan cinta dunia (hubbud dunya). Apabila seseorang sudah cinta dunia pasti ia serakah karena berhasrat hendak menguasai apa-apa yang dicintai.
                Keserakahan itulah yang menjadikan dunia mengalami krisis di semua lini. Bahkan, kerusakan berada di depan mata apabila para penduduk bumi ini serakah.
                Orang serakah mendahulukan haknya dibandingkan mendahulukan kewajibannya. Padahal hidup di muka bumi ini hendaknya secara seimbang lagi simultan mempraktekkan hak & kewajiban.

Sebatas Keperluan
                Seorang manusia pasti SSB jikalau ia CC dengan keseimbangan hidup meskipun kekayaan alam itu melimpah-ruah namun sebatas keperluan di dalam menggunakan. Manakala berlebih-lebihan di dalam menggunakan SDA pasti tata ekosistem mengalami persoalan serius yang berupa ketidak-seimbangan karena telah terjadi pengrusakan.
                Apabila para pemimpin dan para wakil rakyat di Indonesia ini cerdas, sudah tidak jamannya melakukan ekploitasi dan eksplorasi tambang. Sebab, Tuhan YME sudah menyediakan sumber energi buat kehidupan umat manusia yang jauh lebih murah dan sifatnya berkelanjutan. Sebut saja: sumber energi angin, sumber energi gelombang air laut, sumber energi sinar matahari, sumber energi bio-kompos, dan sumber energi bio-gas.
                Konteks Indonesia, semua sumber energi tersebut sudah tersedia karena memang sudah disediakan oleh Allah ta’ala sejak penciptaan bumi dan alam semesta. Para pendahulu kita sungguh cerdas sehingga tidak mau didekte oleh orang-orang asing yang sebenarnya berlaku culas di dalam menguras kekayaan alam Indonesia.
                Silahkan mereka yang berkuasa dan menjadi wakil rakyat suruh menjawab, apa sebenarnya keuntungan bagi bangsa dan rakyat Indonesia dengan maraknya penambangan di negeri kita. Mereka sangat menyengsarakan warga sekitar yang sebelum ada pertambangan sudah miskin di tambah adanya pertambangan menjadi lebih sengsara.
                Semangat Pembukaan UUD 1945 negara harus mampu memberikan jaminan untuk “Memajukan kesejahteraan umum” Sama sekali bohong besar. Padahal para pendiri bangsa Indonesia modern tersebut meletakkan garis perjuangan tersebut supaya para penguasa dan para wakil rakyat secara serius harus memikirkan nasib rakyat bangsa ini.
                Alfaqir yakin apabila setiap orang Indonesia CC dengan hasil SDA dalam negeri, juga CC dengan produk-produk dalam negeri, di dalam waktu yang sangat singkat Indonesia menjadi bangsa yang mandiri. Hanya dengan semangat kemandirian bangsa Indonesia memiliki harga diri yang telah lama hilang sejak jaman rezim orde baru. Yang mana rezim tersebut mewariskan hutang dan rusaknya alam lingkungan. Ditambah pada orde reformasi mereka memimpin negara dengan sekadar coba-coba. Praktis Indonesia mengalami keterpurukan yang memalukan.
                Negara yang SDA-nya sangat kaya akan tetapi rakyatnya tidak makmur. Mengapa terjadi? Sebab, negara dipegang oleh orang-orang yang tidak amanah di dalam mengelola negara. Akibatnya, Indonesia benar-benar menjadi negara yang “salah kelola”.
                Bukti utama yang sangat mencolok bahwa negara Indonesia ternyata “salah kelola”. Sungguh aneh jika rakyat Indonesia harus makan: buah impor, sayur impor, daging impor, ikan laut impor, lucunya limbah dan barang bekas juga harus impor.
                Di sisi lain, hasil tambang; hasil hutan; dan hasil perkebunan harus diekspor ke negara-negara yang konon disebut maju.
                Sungguh sebuah pemandangan yang ironi. Semua itu terjadi sebab berkali-kali rakyat selalu memilih para pemimpin dan para wakil rakyat yang salah. 2014 nanti di dalam pemilihan umum rakyat harus cerdas di dalam menentukan pilihan supaya negara tidak “salah kelola” lagi.
                Setiap orang Indonesia harus sadar bahwa sangat mahal harga yang harus dikeluarkan hanya untuk “main-main” di dalam membawa negara.
                Setiap orang Indonesia harus malu jika mentalnya hanya menghendaki menjadi orang kaya, sementara tidak memikirkan bagaimana caranya orang lain dapat hidup kaya seperti dirinya.
                Setiap orang Indonesia harus paham benar bahwa banyak dari musuh negara yang tidak menghendaki Indonesia menjadi bangsa mandiri. Mereka tahu jika Indonesia menjadi bangsa dan negara yang mandiri maka mereka tidak dapat lagi mendekte Indonesia guna mengikuti segenap kemauan mereka.
                Alfaqir sangat yakin manakala segenap warga bangsa dan seluruh rakyat Indonesia menggunakan produk-produk dalam negeri, demikian juga hasil pertanian, perikanan, perkebunan, dan kemandirian energi. Maka, negara seperti: Singapura dan Malaysia bakal ambruk duluan.
                Sebuah kenyataan jika negara-negara Asean hidup dan lebih baik perekonomiannya sebab memanfaatkan keteledoran dan kecerobohan para pejabat negara dan para wakil rakyat Indonesia. Misalnya, salah urus hutan, salah urus laut, salah urus tambang, salah urus pertanian, salah urus perkebunan, dan masih banyak yang salah urus lainnya.
                Tidak hanya Asean akan tetapi Eropa dan Barat juga sangat tergantung dengan Indonesia.
                Itulah sebabnya, mulai saat ini bangsa Indonesia harus segera memiliki kemandirian energi, kemandirian pangan, kemandirian air, kemandirian ekonomi, dan kemandirian sains & teknologi.
                Jangan pernah menjual ke negara lain sebelum rakyatnya disejahterakan dan dimakmurkan lebih dahulu. Alfaqir yakin apabila Indonesia sebagai bangsa dan negara mau “uzlah”, pasca “uzlah” akan “Menjadi Diri Sendiri”. seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang sekarang memiliki GDP sangat besar. Sebut saja: China, Irlandia, dan Jepang.

Jangan Semua Dipolitikkan
                Eforia politik setelah tumbangnya rezim orde baru sudah saatnya diteruskan dengan pembangunan semesta di bumi Atala Nusantara.
                Para politisi harus lego legowo mau mengawal jalannya roda pembangunan yang menyejahterakan dan memakmurkan segenap rakyat Indonesia. Jangan malah terus asyik-masyuk bermain politik-politikan. Kapan membangun bangsa ini?
                Misalnya, masalah pendidikan dan kesehatan masyarakat biarkan keduanya berjalan sesuai dengan “fitrah” pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebuah fakta di lapangan jika masyarakat itu miskin maka mereka rentan dengan berbagai macam penyakit. Yang penyakit tersebut dikarenakan nalar pikir yang salah di dalam mengonsumsi makanan dan perilaku sehat masyarakat yang tidak tahu.
                Mengapa sampai terjadi? Karena negara tidak pernah memberikan kualitas pendidikan yang melahirkan orang cerdas.
Yang banyak dilahirkan dari lembaga pendidikan adalah para kuli yang terdidik. Bukan para ahli ilmu yang mencintai ilmunya sehingga mereka mencintai bangsanya sebagai perwujudan syukur dengan Tuhan YME.
                Negara juga tidak pernah bersungguh-sungguh di dalam memberikan jaminan kesehatan kepada segenap warga negara. Akibatnya, rakyat Indonesia panen penyakit. Sehingga menggembirakan negara-negara produsen obat dan anti virus. Di sisi lain negara membiarkan rakyatnya menjadi “kelinci” percobaan negara-negara maju.
                Pemandangan yang nyata sekaligus memilukan jikalau orang-orang Indonesia sekarang ini perilakunya sudah mengalami perubahan yang jauh dari nilai-nilai ketimuran.
Kita tidak usah menyalahkan siapapun. Bagaimanapun yang salah tetap para pemimpin dan para wakil rakyat. Sebab, negara tidak dapat memberikan jaminan apapun terhadap seluruh tumpah darah Indonesia.
Sangat mendesak sifatnya yang mana “Kerja Cerdas” harus segera dimiliki oleh segenap warga bangsa. Sehingga anugerah Tuhan YME yang berupa daratan, lautan, sungai, udara, api, hutan, dan tata ekosistem yang berupa Atala Nusantara dapat dikelola sesuai dengan kehendak Tuhan menganugerahkan kepada segenap bangsa Indonesia hingga akhir jaman [ ]