Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Menjemput Tuhan

*Cinung Azizy
Kini suasana sudah pada puncaknya, hanya satu keinginan terbesarku, syahwatku yang kubawa dari rahim ibuku: Melihat Wajah Tuhan.

***
Bulan tinggal separuh malam itu. Sayup-sayup hanya suara satwa malam yang terdengar. Gesekan-gesekan angin yang terasa lewat pelepah dedaunan. Anam masih saja duduk di beranda rumahnya yang reot. Lirih dari mulutnya terangkai gambaran jiwanya yang syarat akan kerinduan.
“Senja telah berlalu, malam yang bisu seperti ini selalu bisa saja membelenggu jiwaku. Sepiku tanpamu. Semua rasa telah terbingkai dalam palung hati, hingga aku tak mau menyodorkannya dengan segala yang berlatar.”
“Bapak, mendengar suara Anam di luar, tidak?” tanya wanita paruh baya yang bernama Rasinah dan biasa dipanggil emak oleh Anam. Entah sudah ada dalam perjanjian ketika masih dalam kandungan atau adat kampung yang begitu, hingga Ia memanggilnya emak.
“Iya, Bapak mendengar suara Anam” jawab Bapak Anam.
“Ibu khawatir Pak, sudah lama Anam sering menyendiri begitu.” Keresahan ibunya akan sikap Anam terangkai lewat kata-kata.
“Yo wis, besok kita bicarakan baik-baik. Kita tanya, siapa tahu Anam sedang memiliki keinginan tetapi takut memberitahu kita.” Ucap Bapak menenangkan. Lalu mereka berdua beranjak ke peraduan mimpi. Berkawan sisa-sisa malam yang sebentar lagi terebut fajar di timur.
***
Keesokan harinya, sebelum sempat Emak dan Bapak berbicara pada Anam, keanehan pada diri Anam terlihat kembali. Bahkan begitu kentara. Saat Laras menemukan Anam tertidur di halaman rumah hanya dengan selembar  daun pisang. Sempat terekam dalam benaknya kata-kata yang keluar dari mulut Anam, yang membuatnya merasa ada kejanggalan yang harus ditindaklanjuti pada diri Anam.
“Telah lama Kau yang kunanti. Namun tak kunjung Kau tepati janji. Kau selalu diamkan aku dalam sepi. Kau yang selalu menjadi pujaan di atas segala yang kumiliki. Tapi Kau biarkan aku sendiri dengan sisa-sisa pagi.”
“Begitulah Bu, kira-kira yang saya dengar waktu saya mau menimba air untuk masak di belakang.” Tutur Laras pada Emak Anam.
“Kami sendiri juga kebingungan dengan sikap Anam bulan-bulan terakhir ini. Kami takut Anam menyimpan sesuatu namun takut mengatakan, hingga dia begitu”
“Apa Ibu tidak kuatir kalau Anam terganggu jiwanya? Misalnya diganggu lelembut, Bu?” Duga Laras.
“Wuss, ngarang kamu.”
“Ya, bisa saja kan, Bu? Namanya juga alam bawah sadar.”
“Kalau memang Anam diganggu lelembut, Ibu rasa mustahil. Toh, dia masih mau shalat. Bahkan terlihat lebih khusyuk. Shalat sunah makin rajin. Melek malam juga semakin sering.” Jelas ibunya.
“Ya, sudah kalau begitu. Semoga saja ini hanya keanehan-keanehan Anam yang tidak akan berlanjut.
Obrolan pagi itu membuat Ibu Anam tidak tenang. Terlebih setelah ia memergoki Anam di meja makan. Bukannya berdoa, malah kata-kata Anam yang terlihat semakin tidak jelas saja.
“Aku, ingin sekali Kau undang aku makan satu meja dengan-Mu. Lalu kita akan bicara banyak hal, tentang kematian, kehidupan, dan bercanda ria tentang kekekalan.”
“Anam, mbok kamu kalau ngomong jangan suka nglantur. Makanannya dimakan saja. Itu makanan kesukaanmu, rendang daging dan sambal lalapan.” Ucap Emaknya.
“Aku sedang tidak ingin makan, Mak! Aku mau ke kamar saja.”
Emaknya hanya diam dalam kebingungan melihat anaknya begitu. Sudah tiga hari tiga malam tidak makan. Berbicara pun secukupnya. Ibunya merasa nalangsa melihat ini semua. Kepikiran dengan ucapan laras pagi kemarin kalau Anam diganggu lelembut. Dan akhirnya Ia minta pendapat keluarga dekat untuk membawa orang pintar. Tapi setelah itu hasilnya nihil, hanya ada satu jawaban, Anam sedang mempunyai keinginan yang kuat dan begitu besar hingga mengganggu jiwanya. Emaknya semakin binggung dan resah saja, ketika suatu pagi mendengar jawaban dari mulut Anam sendiri.
“Mak, apakah Mak sanggup memenuhi permintaan Anam, jika Anam katakan apa mau Anam yang sebenarnya?” Ucap Anam lirih pada Emaknya.
“Insya Allah! Jika Emak dan Bapakmu mampu, kenapa tidak? Asal kamu kembali biasa seperti dulu.” Jawab Emaknya.
“Hanya satu keinginan Anam Mak, bertemu Tuhan yang telah menciptakan Anam dan kita semua. Karena Anam ingin benar-benar membuktikan Tuhan itu ada, Tuhan itu melihat kita. Anam ingin melihat tangan Tuhan yang mampu menggoncangkan dunia bahkan membalikkan hati Anam. Apakah Mak bisa menjemput Tuhan untuk Anam?” Jawab Anam panjang lebar.
“Astaghfirullah! Nak, kenapa kamu jadi begini?” keluh Ibunya tak tahan lagi air menetes dari garis-garis pipinya. Lalu Anam pergi ke tempat yang paling ia sukai. Hamparan sawah yang luas di belakang rumah, menikmati kesendiriannya, berharap akan menemukan sosok bayangan yang ia sebut sebagai Tuhan selama ini.
“Apakah Aku harus memberi sesajen dulu, seperti yang dilakukan masyarakat pesisir laut, dengan melempar kepala kerbau, atau dengan menyiapkan beras merah yang telah dibuat bubur lengkap dengan sesisir pisang ambon seperti yang dilakukan oleh masyarakat lereng gunung, agar aku benar-benar mampu melihat Tuhan atau bahkan merasa menyatu antara tubuhku dengan tubuh-NYA.”
Dalam jiwanya terukir kata yang terungkap dengan diam.
“Semua terasa kosong, semua serasa hampa. Aku terus memijak walau telapak tak berjejak. Aku ingin melihat sekabut bayangan, walau dalam sekam malam yang mencekam.”
*****
“Anam, besok ikutlah Bapak ke tempat Kiai Mujab. Bapak sudah lama tidak berkunjung ke sana.”
“Baiklah Pak!” Jawab Anam singkat. Lalu seperti biasa, ia pergi dengan angin-angin lirih yang senantiasa menemaninya di pinggir sawah.
“Bisik lirih deru ini, seakan pecahkan kesunyian malam, hembusan angin malam kian menusuk tulang, angan selalu terbang melayang, gapai bayang yang menurutku rupawan, yang selalu aku dambakan dalam setiap inci kehidupan.” lirih suara batin Anam.
Keesokan harinya mereka pergi ke kediaman Kyai Mujab. Disambut pagar besi yang bertuliskan Pondok Pesantren Darul Ulum, Banyuwangi. Setelah bersapa dan berbasa-basi, karena lama tak bersua dengan Kiai Mujab yang memang teman sekolah sekaligus nyantri di Jombang dahulu, ia juga merupakan pemimpin pondok tersebut. Ketika Anam pamit hendak berkeliling untuk melihat pondok tersebut, lalu Bapaknya menceritakan apa yang terjadi dengan Anam. Kiai Mujab hanya menganggukkan kepala seakan tahu apa yang harus ia lakukan.
“Biarkan Anam tinggal di sini terlebih dahulu, sekitar sebulan atau dua bulan, mungkin ia kesepian di rumah.” Pinta Kiai Mujab. Lalu Anam dan Bapaknya pun menyetujui.
Dengan segudang kegiatan yang Anam ikuti, hingga pada suatu malam Kiai Mujab memanggilnya dan mengajaknya bertukar pikiran.
“Anam, kamu memang benar, adanya Tuhan perlu dibuktikan, karena kita adalah manusia yang hidup dengan dua alam rasionalitas dan irasionalitas. Begitu banyak media yang digunakan sebagai jalan pembuktian, dengan menyepi, dengan puasa atau memberi sesajen. Tapi perlu diingat, itu hanya sebagai media dan simbol adat istiadat dari kehidupan seeorang yang tidak bisa dihilangkan.”
“Lalu, apa yang harus saya lakukan Pak Kiai?”
“Carilah pembuktian adanya Tuhan lewat segala ciptaanNYA”
“Maksudnya?” Tanya Anam bingung,
“Saya ingin Kamu menikah dengan sepupuku yang bernama Ainal Muna. Tolong pikirkan baik-baik dan sebelum kamu menjawabnya, tadabburi dahulu firman Tuhan dalam al-qur'an surat ar-Rum Ayat 21 dan beristikharahlah.” Ucap Kiai Mujab. Lalu Anam undur diri ke kamarnya, dan melakukan apa yang diperintah oleh Kiainya itu.
Dua minggu berlalu, kini Anam akan kembali pada Emaknya, Untuk mengabarkan berita baik, bahwa ia akan segera menikah dengan Aina. Di perjalanan ia berfikir sejenak, bahwa mencari Tuhan bukanlah dengan mencari wajahNYA, namun ada inisiasi tersendiri, seperti yang dijelaskan dalam syair abadi itu “Diciptakan untuknya pasangan-pasangannya sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan”
Kini Anam merasa Ia akan semakin dekat dengan Tuhan, lewat cinta yang akan ia berikan pada Aina. Anam pun merasa jarak ia dan Tuhan sangat dekat sedekat urat nadi di lehernya. Merasa semakin tipis kelambu yang menutupinya, setipis kapas. ia akan semakin mencintai Tuhan, lewat segala ciptaan-Nya.
Di tengah kebimbangan, kau baringkan ragamu di peraduan kerinduanku, mimpiku dalam pangkuanNYA, kulukis lewat rayuanmu, Aku ingin berada dalam taman hatiNYA selamanya, dan aku ingin mendekam dalam taman hatimu terlebih dahulu, karena bersamamu, aku mampu menyingkap tabir hingga setipis kapas untuk berjumpa dengan-Nya,
“Aku yakin ini adalah jalan menuju kehadiratMu.” Ucap Anam dalam petang.

*Penulis adalah mahasiswi STAIN Purwokerto, Jateng

0 komentar:

Posting Komentar