Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Mata Air dan Air Mata



Oleh: Prof. Dr. Suparto Wijoyo

TANGGAL 22 Maret 2011 diperingati sebagai Hari Air Dunia. Temanya juga lumayan mentereng: Air Buat Perkotaan. Yo ... air biar digerojok buat orang-orang kota. Apa begitu maknanya? Atau di kota memang sedang krisis air bersih. Kepada para para penguasa yang duduk di kursi pemerintahan semestinyalah mengerti kok. Kuberharap agar dikau memperhatikan soal yang akan gawat kaliwat-liwat kalau terjadi kekurangan air bersih di Jatim khususnya. Tatanan pengairan Jawa Timur (Jatim) pada tahun  ini terprediksi terus dalam bahaya. Ini merupakan konklusi paling seru untuk mendeskripsikan kondisi mengenaskan kualitas air di Jatim dalam memasuki babak baru kurun waktu 2011. Malapetaka lingkungan Jatim sudah mencapai titik krusial yang berdampak dramatis dan secara nasional selama lima tahun terakhir senantiasa menduduki peringkat juara kedua. Sejumlah peristiwa lingkungan menggelegak ke permukaan publik Jatim: 35,61%-40% air tercemar, 18,05% hutan rusak berat, 14,63% udara kotor menyesakkan, dan 5,37% laut menghitam beserta biotanya yang terkoyak keberlanjutan hidupnya.

Hebat. Itulah sebuah “prestasi” kematian yang mengancam masa depan lingkungan dan kehidupan warga Jatim. Seluruh segmen geografis Kabupaten dan Kota di Jatim mengalami prahara lingkungan cukup serius. Gresik, Sidoarjo dan Surabaya seakan saling berlomba untuk keluar sebagai pemenang dalam memperebutkan “piala” pencemaran dan perusakan lingkungan di tahun 2011. Kalaulah Jatim demikian tentu wilayah lain di Indonesia lebih seru lagi dulur.

Kolam Teratai
Dalam kaitan ini terdapat cangkriman simbolik yang pernah dilontarkan R. Latter yang sangat relevan bagi kondisi wajah lingkungan Jatim dewasa ini. Diungkapkan bahwa orang Perancis senantiasa menggunakan teka-teki untuk mengajarkan kepada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai, begitu teka-teki itu, berisi selembar daun. Tiap hari jumlah daun itu berlipat dua. Dua lembar daun pada hari kedua, empat pada hari ketiga, dan delapan pada hari keempat, demikian seterusnya. Kalau kolam itu penuh pada hari ketiga puluh, kapankah kolam itu berisi separohnya? Begitu ditanyakan. Jawabnya adalah: pada hari kedua puluh sembilan.
Lontaran cerdik tersebut merupakan kidung-kinanti yang futuristik yang telah pula dirujuk oleh L.R. Brown dalam bukunya yang sangat populer The Twenty Nint Day: Accommodating Human Need and Numbers to the Earrth’s Resources dan telah dialihbahasakan menjadi Hari Yang Kedua Puluh Sembilan. Waduh serius bukan? Apakah para pejabat berkesempatan ya baca-baca begini? Semoga
Kini nasib kolam teratai Jatim tampak sudah penuh seluruhnya, sementara waktu penyelematan tinggal sehari. Warga Jatim niscaya harus memahami urgensi kebutuhan memulihkan  mutu lingkungan. Pencemaran air terlihat tak  kenal kompromi dan kerap meluas tiada henti melanda media air dengan rentetan kompleksitas konsekuensi yang problematik. Pencemaran air, udara, dan perusakan bentang alam mewarnai perjalanan tahun 2010 dirasa akan semakin menggila di tahun 2011 apabila tanpa kebijakan perairan yang maton.

Sang Tertuduh
Pencemaran air di Indonesia, mulai Aceh sampai Papua, eh termasuk di Jatim seperti yang terjadi di pantai Gresik, Kali Brantas, Kali Tengah, Kali Surabaya, Kenjeran, Kalimas dan Bendungan Karangkates disinyalir terus menggejala. Bahkan Perusahaan Jasa Tirta I secara tegas pernah melansir dengan menyatakan bahwa tingginya tingkat pencemaran air di Kali Surabaya misalnya  berasal dari pembuangan limbah dari 40 industri, di samping limbah domestik dan pertanian. Dunia industri dapat dikategorisasi sebagai pihak tertuduh yang paling “terpercaya” dalam kasus pencemaran air di Jatim.
Maraknya frekuensi pencemaran air di Jatim adalah kebenaran yang tak terelakkan. Realitas pencemaran air di Jatim tidaklah perlu diragukan, apalagi diperdebatkan. Kenyataan itu merupakan produk sikap biarinisme dan kemunafikan kelembagaan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jatim. Bagaimana air di Jatim tidak tercemar apabila mayoritas industri dibiarkan oleh para Bupati/Walikota untuk membuang limbah cairnya tanpa kendali? Instrumen hukum yang berupa perizinan lingkungan sebagai sarana pencegahan pencemaran air tidak difungsikan. Para pengusaha pun dengan enaknya membuang limbah cairnya (atau air limbahnya) tanpa beban hukum. Enteng sekali. Mereka seolah bebas memuntahkan liur mautnya itu tanpa dosa. Air di Jatim benar-benar tengah dijadikan wahana gratisan para pengusaha untuk mensemayamkan limbah cairnya. Bagaimana Perda tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Jatim yang baru saja didog tanggal 28 Februari 2008 mampu mengatasi krisis air bersih di Jatim?

Instansi Yang Bertanggung Jawab        
Siapakah instansi yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran air di Jatim? Secara yuridis administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 82 Tahun 2001): instansi yang musti bertanggung jawab untuk mengendalian pencemaran air adalah para Bupati/Walikota. Bupati/Walikota merupakan aparatur penegak hukum yang utama di bidang pengendalian pencemaran air. Maka jajaran birokrasi Kabupaten/Kota yang berkompeten mengelola lingkungan harus bertindak nyata menghentikan pencemaran air. Langkah ini akan semakin meneguhkan dan membenarkan bahwa anda memang layak mendapatkan peralihan kewenangan dalam upaya pengendalian pencemaran air. Kalau tidak sekarang, kapan lagi Bupati/Walikota tampil beda dari para Gubernur yang selama sepuluh tahun telah diberi otoritas pengendalian pencemaran air, namun ternyata tetap belum greget, tanpa kreasi hukum yang mengesankan. Kini Pakde Karwo mau bangun dari agenda gerak jalannya yang menonjol he he he.
Sejarahnya. Pada tingkat nasional, sejak tanggal 5 Juni 1990 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 20 Tahun 1990). PP ini menggariskan bahwa pembuangan limbah cair ke dalam sumber-sumber air dilakukan dengan IPLC dari Gubernur. PP No. 20 Tahun 1990 ini berlaku efektif tanggal 5 Juni 1991, sehingga sejak tanggal tersebut berlaku ketentuan bahwa setiap industri yang membuang limbah cairnya ke dalam sumber-sumber air wajib memiliki IPLC yang menjadi kewenangan Gubernur. Tanpa IPLC tidak ada pembuangan limbah cair yang legal.
Bagaimana kenyataannya? Amboi, jauh panggang dari api. Pencemaran air terus muncul. Kalau soal aturan hukum. Ah lengkap sudah aturan hukumnya. Ketentuan pengaturan mengenai pengendalian pencemaran air terlihat komplit. Tetapi apa yang terjadi? Selama masa berlakunya aturan pengendalian pencemaran air, semua industri di Jatim belum memiliki IPLC yang semestinya. Akibatnya, para pengusaha dengan lugasnya membuang limbahnya tanpa IPLC dari Gubernur.
Bagaimana kisah selanjutnya? Zaman telah berubah, waktu terus melaju dan berlalu. Zaman Gubernur Imam Utomo terpotret hendak tampil se-Utomo mungkin. Disahkanlah Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 5 Tahun 2000 tentang Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Timur yang kini sudah diganti yang baru. Gubernur Imam Utomo tampaknya benar-benar ingin tampil elegan secara ekologis. Beberapa perusahaan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan IPLC ke Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Propinsi Jatim berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2000 segera mendapat tanggapan. Proses terus bergulir dan pencemaran air juga terus melaju. Lantas, apa yang telah dilakukan Gubernur Imam Utomo yang kondusif bagi upaya pengendalian pencemaran air? Dapatkah para Pakde Karwo melanjutkan lebih serius soal ini? Munculnya Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air harus memberikan pemahaman baru Pakde Karwo untuk lebih serius mensikapi soal krisis air.
Namun, perlu ditandaskan bahwa semua perangkat hukum tersebut pada dasarnya hanyalah kertas mati yang tidak berharga apabila Gubernur maupun Kepala BLH alias Badan Lingkungan Hidup Propinsi Jatim tidak cekatan melaksanakannya. Dan sebelum Gubernur Jatim bergerak maksimal merealisir pengendalian pencemaran air, maka era baru memberi kewenangan kepada Bupati/Walikota mencuat. Aturan hukum lingkungan yang memuat sanksi administrasi untuk menangani kasus pencemaran air telah tersedia. Penerapan sanksi administrasi paksaan pemerintahan yang pelaksanaannya dilakukan dengan tindakan pemulihan kualitas air (semisal air Kali Surabaya, Kali Brantas atau Kalimas) dapat dilakukan dengan cara penggelontoran. Tidak ada alasan bagi Bupati/Walikota untuk menunda penerapan sanksi paksaan pemerintahan hanya karena pertimbangan tidak tersedianya dana. Ingat bahwa kasus lingkungan biayanya lebih besar daripada mencegahnya.
Akhirnya, jangan lagi menunda. Pencegahan  yuridis administratif tragedi pencemaran air ada di pundak Bupati/Walikota dalam koordinasi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat seperti yang diamanatkan PP No. 19 Tahun 2010. Warga Jatim tengah menunggu kreasi Bupati/Walikota. Kepada para punggawa Kabupaten/Kota kuselipkan pesan tegakkanlah aturan. Suarakanlah norma hukum yang berlaku dan jangan seperti sebagian penguasa yang tidak mengerti derita warganya. Kepada pejabat Jatim beranikah anda berjanji? Tapi ingat kami butuh bukti, bukan janji. Kayak iklan. Jangan sampai mata air di Jatim mengalirkan air mata. Cekal krisis air bersih di Jatim.

*Penulis adalah dosen lingkungan Hidup Unair dan Guru Luar Biasa MTI

0 komentar:

Posting Komentar