Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Mendung di Kota Pahlawan


*Zaenal Abidin el-Jambey at-Tubany

Bukan keinginannya jika dia harus melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Tapi keadaanlah yang membuatnya melakukan ini semua. Seminggu lalu ketika dirinya pulang ke desa karena libur kuliah, hatinya benar-benar menjerit melihat keadaan kedua orangtuanya. Betapa selama ini ketika dia asyik dengan dunianya sendiri, ia lupa pada orang yang tiada henti mendoa dan berharap kepadanya. Ketika siang hari bapaknya harus bergelut dengan lumpur sawah berteman sengatan matahari. Punggungnya berkilau karena terlalu sering berjemur di bawah terik mentari. Sementara ibunya pun tak kalah hebat dibanding Bapaknya, setelah pekerejaan dapur selesai, jika tidak membantu sang suami, ibunya harus mencarikan rumput untuk ternaknya. Terkadang juga pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.
 Air mata yang jarang keluar dari kelopak matanya hari itu mengalir deras tiada kuasa dia bendung. Kata-kata ibunya meruntuhkan sekat yang menghalanginya untuk menangis.
"Kim....mungkin kamu kaget melihat keadaan ibu dan bapak seperti ini. Sapi kami jual untuk biaya nebo menggarap sawah. Dan kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena semua tanaman padi yang ada di sawah mati. Memang bukan hanya milik kita saja. Kim Ibu dalam beberapa bulan ini harus pinjam ke sana kemari." Terang Ibunya dengan wajah muram. Ibunya yang dulu tampak kuat, kini tampak kerut-kerut di wajah sudah mulai menghampirinya.
Mendengar keterangan dari ibunya. Ingin rasanya Hakim menangis dan menjerit atas nasib yang selama ini menimpa keluarganya. Ia kadang heran mengapa dari dulu sampai sekarang keluarganya tidak kunjung keluar dari kesusahan. Padahal ibu dan bapaknya adalah orang yang baik. Bapaknya adalah seorang yang sangat jujur, lugu dan sabar. Ia masih ingat ketika salah seorang kerabatnya yang lama tidak pernah berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba datang dan meminjam sepeda motor yang baru dibeli oleh Bapaknya dari hasil menjual sapi yang dimiliki. Dan betapa marah dirinya, karena ternyata orang itu membawa pergi sepeda motor itu dan tidak mengembalikannya. Di tengah kemarahan dirinya dan ibunya yang tampak sedih, Bapaknya justru berkata,
"Sabar, ini takdir Allah...mau bagaimana lagi, engko mesti diganti oleh Allah"
Itulah keheranan Hakim, orang yang begitu baik seperti Bapaknya tidak kunjung juga terbebas dari jerat kesusahan. Sambil tertunduk menahan sedih Hakim kembali mendengar Ibunya melanjutkan bicaranya, "Kini untuk biaya kuliahmu semester empat ini, Ibu dan Bapak terpaksa menggadaikan sawah kita." Kata Ibunya dengan suara purau sambil menyodorkan amplop kepada Hakim.
"Ini Kim uang 4 juta untuk biaya kuliahmu. Kemarin dari uang gadai itu dapat uang 6 juta, 2 juta rencananya mau Ibu belikan Sapi dan untuk biaya berobat Bapakmu. Ibu ndak masalah Kim, yang penting kamu kuliah seng temenan, jadilah orang yang berhasil, cukup Ibu dan Bapak yang susah, Ibu ndak rela kalau anak Ibu susah juga seperti orangtuanya."
Hakim tidak mengeluarkan sepatah kata pun, perlahan ia angkat wajahnya yang dari tadi menunduk, ia tatap wajah Ibunya, wajah itu semakin tua, dan tampak lelah. Hati Hakim bertambah sedih ketika melihat Bapaknya keluar dari kamar sambil batuk. Laki-laki berumur 52 tahun itu berjalan menuju kursi kosong di sebelah kanan Hakim sambil berkata,
"Kim...nek kuliah seng temenan. Engko Bapakmu nek gak ono sopo seng ngrawat Ibu lan adikmu iku. Seng pinter le...huk..hukkk" (Kim, kalau kuliah yang sungguh-sungguh, nanti kalau Bapakmu tidak ada siapa yang merawat Ibu dan adikmu. Yang pintar Le..huk..hukk.”
Sambil menahan tangis Hakim mengatakan kepada kedua orangtuanya, "Insya Allah Pak, Bu, Hakim juga sampon berusaha dengan sebaik mungkin untuk berprestasi. Dan uang ini Hakim ambil setengahnya saja Bu. Hakim insya Allah sudah ada uang untuk menutupi kekurangan biaya semester ini." Hakim membuka amplop putih itu, diambinya uang dua juta lalu ia serahkan kepada Ibunya kembali.
"Dapat uang dari mana kamu Le?" Tanya ibunya.
"Ibu tenang saja, Hakim akan mencoba mencari tambahan untuk uang kuliah dengan mengajar, atau pun mencoba mencari pekerjaan yang kiranya dapat meringankan Ibu dan Bapak."
"Syukurlah kalau begitu, tapi tetap kamu harus mengutamakan kuliahmu." Kata Ibunya dengan wajah sedikit berseri-seri. Mendung sedih yang dari tadi hinggap di wajah Ibu Maisarah dan Pak Narto itu, sedikit hilang mendengar penjelasan anaknya itu.
****
"Bro.....wah dari pada kita susah-susah cari kerja lebih baik seperti ini, tanpa modal, keuntungan kita banyak sekali. Sip... kamu bisa membayar biaya kuliah tanpa meminta kepada orangtuamu lagi." Kata laki-laki bertindik di kupingnya sambil sibuk menghitung lembaran uang di tangannya.
"Tapi apa kita akan begini terus Ran?"
"Tentu saja tidak Kim, kita begini kan terpaksa, terpaksa karena ndak punya uang, coba kita punya uang, apa kita akan melakukan perbuatan seperti ini, tidakkan?"
"Tapi selama kita melakukan hal ini, entah mengapa akhir-akhir ini rasanya hatiku dirundung gelisah terus Ran."
"Kim, Gusti Allah iku tahu mengapa kita begini, karena kita ingin mempertahankan hidup, jadi meski kita mencuri, itu dosanya tidak seberapa, dan yakin saja bahwa Gusti Allah akan memaafkan, lha yang merampas hak-hak manusia indonesia termasuk hakku dan hakmu untuk hidup layak saja mereka sama sekali tidak merasa berdosa, bahkan bangga dengan perbuatannya, sebagai pencuri kelas tinggi, dengan mengkorup harta rakyat."
"Tapi aku tidak ingin berlama-lama dengan semua ini Ran. Hati ku selalu gelisah setiap kali melakukan perbuatan ini"
”Itu pasti Kim. Pasti. Tapi kita kumpukan modal dulu lalu setelah itu kita buka usaha, kita mandiri kawan.”
”Kamu janji Ran.”
”Tentu..”
Angin sore berhembus membawa pesan-pesan ilahi, angin yang berhembus di setiap belahan bumi itu sebagian di antara membelai wajah Hakim yang gelisah akan langkah hidup yang dijalani selama ini. Di bawah teras rumah kecil itu ia termangu memandang langit yang seolah murung. Tapi terkadang pesan ilahi itu tidak dapat dibaca oleh manusia. Hanya mereka yang hatinya suci dan lembutlah yang bisa membaca berbagai pesan-pesan ilahi yang hadir memperingatkan manusia.

***
Pagi ini mentari tak kunjung muncul dengan sinarnya yang terang. Gerimis tipis pun yang turun dari tadi tak kunjung reda. Di depan gedung bercat putih biru itu beberapa mahasiswa tampak melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki gedung itu. Hanya ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang masih duduk-duduk di teras depan gedung yang bertuliskan Fakultas Adab di papan depan itu, yang lainnya tampaknya sudah memasuki kelas masing-masing.
Matanya memandang ke sana kemari, memastikan tidak ada mata pun yang melihat dirinya. Kalau pun ada jangan sampai ia dicurigai, dengan mantap ia mengambil helm putih yang tampak baru itu. Hakim tersenyum melihat seseorang yang berjalan di depannya bersama dua orang temannya, senyum yang dibalas oleh sapaan merdu dari gadis berjilbab hitam, wajahnya tampak putih dengan balutan jilbab hitam itu,
”Mas Hakim, sedang apa ndak masuk tah, ini sudah jam masuk lo,?”
”Sebentar lagi ini ada urusan sedikit, nanti kalau telat tolong izinkan ya,?”
”Oh gitu ya sudah monggo Mas.....”
Mendapat sapaan gadis bernama Zahratul Umamah itu seolah ada setetes embun bening hinggap di hatinya. Hakim tersenyum. Secepatnya kakinya melangkah menuju pintu belakang Kampus, ia merasa sepertinya tidak ada orang yang memperhatikannya. Mungkin mereka berpikir bahwa helm itu adalah Helm Hakim sendiri. Hakim terus berjalan menyusuri gang-gang kecil menuju tempat kontrakannya. Sesampainya di kontrakanya, Randi telah siap untuk menyulap helm curian itu menjadi uang dengan menjualnya kembali.
***
Mendung menggantung di langit Surabaya perlahan setetes dua tetes air mulai berhamburan berpelukan dengan tanah. Beberapa hari ini sepertinya cuaaca di Surabaya tak begitu bersahabat, mentari selalu tertutup oleh mendung.  Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bahkan satu detik ke depan masih merupakan teka-teki. Manusia hanya bisa berharap dan berusaha. Hakim melangkah dengan ragu, tak seperti biasanya hatinya gelisah dan takut. Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Di parkiran Kampus dengan ragu dan bergetar ia ambil helm berwarna merah di bawah pohon jambu air itu. Ia tidak tahu bahwa pemillik helm itu masih berada di dekat situ, Hakim segera pergi, tapi
”Hai........ maling helm” Teriak seorang pemuda sambil berlari ke arah Hakim. Semua pasang mata tertuju pada Hakim. Hakim berhenti, tubuhnya kaku tak bergerak.
”Hai Mas, mau dibawa ke mana helm saya itu?” Tanya pemuda itu dengan membentak dan muka geram. Sementara para mahasiswa yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba sudah penuh mengerubngi Hakim dan pemuda pemilik helm.
”Oh...jangan-jangan helm-helm yang sering hilang dicuri oleh orang ini.” Teriak salah seorang mahasiswa.  Dengan suara bergetar kerena takut, Hakim menjawab,
”Endak Mas, saya tadi ha..hanya mau pinjam.”
”Kalau pinjam mengapa tidak izin saya Mas?” tanya pemuda pemilik helm.
”Halah ini......, ternyata yang mencuri helm saya kemarin” Teriak salah seorang yang ikut mengerubungi Hakim sambil menjotos kepala Hakim.
Ricuh semua yang mengerubungi Hakim memukul, menjotos dan menendang tubuh Hakim,
”Ya Alllah tolong......”Rintih Hakim sambil menahan sakit, mendengar rintihan Hakim pemuda pemilik Helm tak sampai hati, ia berusaha melerai para mahasiswa yang sudah terlanjur terbawa menggila karena emosi.
”Berhenti..stop stop....!!!!” Tolong jangan main keroyok begini rek. Lebih baik kita bawa ke Fakultas, jangan main pukul seperti ini. Hakim berjalan dikawal oleh para mahasiwa, wajah dan tanngannya tampak memar terkena pukulan. Hakim merintih, air matanya menetes, sekelebat wajah ibunya hadir di depannya.
” Bu...Pak...Dek” Katanya Lirih.
Seluruh Fakultas Adab geger melihat Hakim yang terkenal pendiam, ramah dan baik itu babak belur di kerubngi di ruang Loby. Melihat kejadian ini gadis berjilbab merah yang baru saja turun dari lantai atas itu tampak kaget bukan main melihat Hakim babak belur seperti itu. Ia adalah  Zahratul Umamah teman Hakim, matanya basah. Bebrapa dosen muncul mencoba menurunkan ketegangan.
”Semuanya harap tenang. Biar pihak Fakultas yang menangani semua ini.”
”Ini Pak pencuri helm-helm di Kampus kita selama ini.”
”Ya, ya makanya tolong jangan main hakim sendiri biar kami yang urus masalah ini.” Langit Surabaya semakin gelap tampaknya pagi  menjelang siang itu hujan akan membasahi bumi pahlawan, sementara Hakim merasakan kesedihan yang sulit untuk digambarkan, hujan mulai turun dan langit menangis.

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya & Shantri Ma’had TeeBee Indonesia  Tinggal di Ma’had TeeBee Indonesia yang beralamatkan di Jl.Tambak Raga, Jl.Tambak Bening II 18-20, Simokerto, Surabaya Pusat (60142) (Contact Person 08563335017)