Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Manusia Makhluk Sosial

Oleh: Redi Panuju
Meskipun secara ragawi manusia itu adalah pribadi-pribadi yang independent, namun bukan berarti ia dapat lepas tanggung jawab kepada lingkungannnya. Tanggung jawab individu tidak hanya pada ruang lingkup dirinya sendiri, namun juga kepada orang lain. Anak, istri, famili, komunitas, dan bahkan bangsa. Dan karena itulah, manusia itu mutlak disebut sebagai mahluk sosial.
      Apakah agama kita mengakomodir konsep ini? Jawabannya sangat iya. Agama kita misalnya mengenal konsep tanggung jawab dalam keluarga. Itu sudah dasar yang menandai bahwa orang mukmin pastilah mahluk social. Seorang suami diwajibkan menafkahi anak dan istri serta keluarga yang kurang mampu. Orang tua diberi amanah untuk mendidik anaknya dengan baik, sebab kata Allah dalam al-Qur’an seorang anak kelak akan menjadi Nasrani, Yahudi, atau Majusi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Demikian sebaliknya, seorang anak juga memiliki kewajiban untuk menghormati kedua orang tuanya. Jadi, dalam satu keluarga saja, masing-masing anggota sudah terikat dengan konsep kesosialan.
       Selanjutnya, keluar dari unit keluarga, individu sudah terkait dengan lingkungan yang lebih luas lagi. Dalam bertetangga, Rasulullah SAW memberi teladan persaudaraan yang baik dengan sesama tetangga. Bahkan sampai sedetil-detilnya. Bila seseorang masak makanan yang aromanya tercium oleh tetangganya, maka wajib baginya untuk membagi makanan itu hingga sang tetangga bukan hanya merasakan aromanya namun juga ikut menikmatinya.
      Latar belakang mengapa seorang mukmin wajib membayar zakat, tak lain dimaksudkan sebagai mekanisme transformasi sosial dan ekonomi supaya tidak terjadi kesenjangan di antara umat. Di dalamnya terkandung semangat saling tolong-menolong. Yang kaya menolong yang lemah dengan hartanya dan si miskin menolong si kaya dengan memberi sarana beramal shalih. Itulah bukti bahwa islam sebagai agama bukan hanya mengakomodir konsep tersebut, namun sekaligus justru mengimplementasikannya.
     Keberadaan individu mengimplentasikan karakter sosialnya itu hanya mungkin terjadi bila seseorang mampu mengatasi keegoisannya. Seseorang punya spirit sosial bila sudah mampu menganggap bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungannya. Spirit ini dapat otomatis mengejawantah bila seseorang punya jiwa berkorban untuk orang lain. Peduli pada orang lain itu artinya sebuah pengorbanan; pengorbanan waktu, materi, pikiran, perasaan, kesabaran, dan sebagainya. Jadi, bila berkorban belum menjadi satu dengan jiwanya, orang pasti akan cenderung tersiksa.
      Keadaan psikologis dimana berkorban justru menjadi sumber kebahagiaan bukanlah sesuatu yang terbentuk tanpa proses. Awalnya pasti butuh latihan. Dari yang semula punya kebiasaan bersedekah seribu sehari, lantas meningkat menjadi sepuluh ribu, meningkat menjadi seratus ribu, dan seterusnya. Kelak bila sedekah sudah menjadi kebiasaan (habit), maka tak ada yang berat dalam berkorban. Bahkan, ketika keadaan membuat dirinya tak mampu berkorban untuk orang lain, ia justru merasa tersiksa dan merasa berdosa. Itulah karakteristik jiwa kesosialan.
      Karena jiwa sosial itu sebuah proses, maka tidak mungkin juga langsung dalam bentuknya yang murni. Mungkin awalnya hanya sekedar balas budi kepada orang yang pernah berbuat baik kepada kita. Mungkin pada awalnya hanya karena tak enak sama tetangga. Atau bisa jadi pada awalnya hanya karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Pada babakan awal seperti ini, biarlah berlangsung.
      Kalau kebetulan diantara kita sedang berada dalam proses itu, maka kita menyadari bahwa berkorban demi pamrih seperti belumlah sampai pada tataran kesejatian jiwa mahluk sosial. Kesejatian baru terwujud bila mampu meruntuhkan atribut-atribut yang berbau riy’a dalam interaksi tersebut.
       Orang cenderung menjadi individualistis acapkali disebabkan takut akan mengalami kerugian dan menghadapi kefatalan ketika berkorban untuk orang lain. Padahal kenyataannya, belum pernah terjadi orang jatuh miskin hanya gara-gara bersedekah. Allah justru menjanjikan akan membalas dengan pahala yang berlipat bagi orang yang bersedekah. Balasan tersebut dapat ditunaikan ketika masih hidup di dunia maupun setelah di akherat. Secara ilmiah pun janji Allah ini dapat dipertanggung jawabkan. Orang yang suka berderma pasti disenangi orang. Karena disenangi orang maka jaringan sosialnya menjadi luas. Nah, jaringan social ini dapat menjadi peluang untuk pelbagai macam kegiatanya, baik itu yang bersifat politis, ekonomi, maupun psikologis.
      Kalau ada hadist yang mengatakan bahwa silaturahmi dapat memperpanjang umur dan mendatangkan rejeki, maka penjelasan ilmiahnya ada pada fungsi social networking itu.
      Memang menjadi aneh, bila banyak orang yang justru menjadikan lingkungan sosialnya sebagai musuh. Dimana-mana dan kapan saja yang dicari adalah lawan. Penipuan, penggelapan, pengkianatan, fitnah, intrik, penyerobotan atas hak orang lain, dan semacamnya itu adalah modus operandi yang sering dipakai oleh mahluk individualis yang anti social. Tak ada kamus tolong menolong, kasih-mengasihi, ingat-mengingatkan. Tidak ada. Dalam kamus manusia individualis: “di dunia ini tak ada yang gratis. Semua ada harganya, semua ada kalkulasinya!”
      Jadi, mengapa mesti kita menunda untuk mengoptimalkan spirit sosial dalam diri, toh manfaatnya akan kembali juga kepada yang bersangkutan. Sedangkan dari segi agama merupakan investasi jangka panjang, yang pasti tak ada ruginya, sebab semuanya akan diklaim saat di akherat kelak. Allah tak akan menelip amal kebaikan seseorang, sebab telah dijanjikan sebiji sawi saja amal itu Allah mencatatnya dengan baik.  **** 




0 komentar:

Posting Komentar