Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

BONEK

Siapa yang tidak kenal Bonek. Bonek adalah komunitas penggembira sepak bola Surabaya. Mengapa alfaqir katakan penggembira, karena tidak ada ikatan struktural dengan Persebaya. Mereka hanya terikat secara emosional. Buktinya, Bonek tidak saja tinggal di Surabaya. Tetapi, di mana-mana di seluruh Indonesia, khususnya Jawa Timur.
Bonek adalah kependekan dari bondo nekat. Artinya, berbekal tekad. Seperti diyakini para Bonek. Tanpa bekal apa pun dia bisa “mengawal” kesebelasan kesayangan mereka ke mana pun berlaga. Dan, di banyak kesempatan terjadi ekses negatif. Inilah citra yang melekat pada Bonek.
Benarkah demikian? Bonek selalu berperilaku buruk?! Tidak seluruhnya benar pernyataan seperti itu. Bonek juga manusia. Mereka juga memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan. Di antara mereka yang “cocok”. Mereka memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Misalnya, antara Bonek dengan Viking, penggembira bola asal Bandung, yang selalu “mengawal” Persib di setiap laga.
Tetapi, jangan tanya. Viking tidak dapat akur dengan The Jack. Juga, antara Bonek dengan Pasopati (Solo), Arema (Malang), dan LA mania (Lamongan). Mengapa terjadi? Karena di antara mereka masih belum ada kecocokan.
Sebenarnya yang harus dibenahi jangan suporternya melulu. Superter itu ibarat daun dari sebuah pohon yang besar. Apa artinya jika sekadar “menata” daun. Lalu, membiarkan dahan, ranting, pohon, dan akarnya. Sebab, pokok persoalan yang sebenarnya adalah pada PSSI.
Di mana PSSI sebagai “input” persepak-bolaan nasional tidak pernah profesional lagi serius dalam melakukan tugas pembinaan. Sehingga potensi saling “bermusuhan” tidak lagi sportif. Namun sudah mengarah kepada ketidak-adilan. Akibatnya, mereka yang dirugikan membuat “ulah” supaya mendapatkan perhatian dari PSSI.
Apabila PSSI itu “input”, maka suporter itu adalah “out put”. “Out put” selalu tergantung dari “input”. Ditambah lagi “mesin” prosesnya yang tidak bagus. Bagaimana dapat melahirkan “out put” yang bagus, jika “mesin” prosesnya tidak bagus. Maka, tepat sekali jika ada gagasan untuk merombak tubuh PSSI. Sekaranglah saat yang tepat untuk memulai pembenahan PSSI sampai ke akarnya. Terutama ya harus mengeluarkan siapa saja orang-orang yang tidak layak diserahi amanah untuk mengelola PSSI. Siapa yang menilai, biarkan  masyarakat sepakbola Indonesia yang melakukan. Pemerintah/Menpora harus segera menampung aspirasi mereka. Lalu, secara transparan dan jujur menempatkan orang-orang yang amanah lagi profesional yang telah disepakati masyarakat sepak bola Indonesia.
Ingat, olah raga yang memiliki segmen terbesar di negeri ini adalah sepakbola. Sampai-sampai jam-jam malam kaum muslimin Indonesia tidak lagi dilalui dengan shalatul lail. Tetapi dihabiskan di depan TV dengan kurratul qadam fil lail. Sungguh aneh masyarakat kita, jika menunggu waktu shalatul lail. Tidak kuat. Namun jika menunggu kesebelasan kebanggaannya berlaga, betapa kuatnya. Malah banyak yang melakukan doping supaya tetap bisa jaga.
Yang harus dibina tidak hanya Bonek. Tetapi semua insan persepak-bolaan di Indonesia harus dicerahkan. Bahwa, olehraga sepakbola, adalah sekadar permainan olahraga yang dituntut sportifitas tinggi. Ada kalah. Ada menang. Karena bola itu memang bundar. Di samping terus diajarkan mengenai falsafah permainan sepak bola. Yang orang Suroboyo menyebutnya “bal-balan”. Sehingga dengan bermain sepakbola, siapa pun yang terlibat semakin: Iman; Takwa; dan Qurbah kepada Allah ta'ala.
Itulah sebabnya, menurut alfaqir, yang pertama-tama mendapatkan pembinaan dan pencerahan justru para pengurus persepak-bolaan. Sebab, para suporter sebenarnya adalah orang atau komunitas yang ada di luar struktur. Mereka itu sekadar penggembira. Bergembira jika jagonya menang. Dan, marah jika kesebelasan yang dijagonya kalah. Sedangkan ekspresi kekalahan dan kemenangan itulah yang seringkali meminta kurban. Jika masyarakat pecinta bola itu sadar. Tidak perlu terjadi korban di setiap ada even pertandingan.
Sebuah langkah baik jika diusahakan untuk menebar pesona secara nasional. Baik para pemain, pengurus, dan penontonnya; sehingga komunitas persepak-bolaan Indonesia kembali bergairah. Meski peringkat Bonek naik ke ranking II menurut penilaian FIFA. Masih menjadi tuntutan sekaligus harapan, bahwa suporter Indonesia harus menjadi kebanggaan siapa pun secara nasional.
Semua itu bisa diatur, apabila para tokoh persepak-bolaan mau mendengar setiap masukan dari masyarakat. Sebab, telah menjadi prinsip umum, bahwa siapa pun tidak menghendaki jagonya kalah. Dan, setiap manusia yang akalnya waras, selalu berusaha menjadi pemenangnya.
Akan tetapi hukum ini tidak menjadikan siapa pun serba boleh melakukan apa pun. Tidak demikian. Sebaliknya, karena rasa kecintaan terhadap bola. Mereka harus sadar, bahwa dalam permainan selalu bergantian. Ada kalah. Ada menang.  Siapa pun harus dapat mengendalikan diri. Tidak usah menyalahkan siapa pun. Semua itu harus dibangun melalui keteladanan para pengurus dan tokohnya.
Belajar dari kasus demi kasus. Maka, masyarakat sepakbola Indonesia harus merasa perlu untuk segera melakukan pencerahan sekaligus membangun kekeluargaan sepakbola Indonesia. Beda pendapat itu lumrah. Terjadi gesekan di sana-sini itu bagian dari dinamika hidup berkelompok.
Karenanya, ke depan masyarakat sepakbola nasional hendaknya mengagendakan:
1.         PSSI harus segera melakukan perombakan total pengurusnya.
2.         Memisahkan PSSI dari interes politik praktis.
3.         Menanamkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika kepada segenap penggembira bola.
4.         Mencari titik temu guna menyamakan visi-misi mengenai persepak-bolaan nasional.
5.         Dipahamkan bahwa sepak bola merupakan sarana untuk mengangkat ekonomi kerakyatan (marketable).
6.         Jangan menjadikan suporter “kendaraan” politik untuk kepentingan sesaat.
Ke-6 poin di atas harus segera diwujudkan. Sebab, olahraga sepakbola adalah sarana yang paling cepat guna membangun kembali nasionalis para generasi muda. Para suporter itu manusia, maka mereka harus dimanusiakan. Sesuatu yang sangat mendesak sifatnya, harus segera ditemukan “bahasa” yang pas buat menjadikan mereka kembali mencintai tanah airnya melalui bola. Tidak boleh ditawar lagi, setiap pengurus sepakbola dan para pemain bola di Indonesia harus bangga sebagai orang Indonesia.
Insya Allah, dari sini bakal muncul benih tumbuhnya jiwa nasionalis yang sejati. Dan, rupanya tidak sekadar melalui sepakbola. Tetapi melalui apa saja, sebagai orang Indonesia, setiap jengkal, setiap peluang, dan setiap saat; harus melahirkan semangat dan jiwa nasionalis guna mencintai negerinya, Indonesia. Sebuah “surga dunia” yang bernama Atlantis yang telah ditemukan

0 komentar:

Posting Komentar