Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Agama dan Budaya

Agama adalah bentuk kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang, yang seseorang itu sangat meyakini bahwa totalitas kehidupan ini adalah hasil dari kreasi Allah jalla jalaluh. Seseorang yang beragama yakin benar, bahwa sumber dari segala sumber dalam kehidupan karena adanya ke-Mahakuatan Allah ta’ala yang tidak tertandingi oleh siapa pun dan apa pun.  
Budaya adalah Cara Berpikir seseorang, agar dirinya dapat hidup di dunia ini dengan: Sehat; Sejahtera; dan Bahagia (SSB). Sehingga lahirlah banyak model kebudayaan yang intinya tetap sama, yakni terdapatnya kualitas hidup manusia yang SSB.
Budaya identik dengan “Seni Berpikir”. Di mana orang yang berbudaya benar-benar seseorang yang telah berhasil menjadikan dirinya hidup enjoy. Kehidupan seseorang dikatakan enjoy apabila telah mampu mengamalkan di kehidupan ini dengan memiliki kualitas dan kuantitas “Seni Berpikir” dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dari “Seni Berpikir” tersebut lahirlah Cara Berpikir. Dan, dari Cara Berpikir itu seseorang atau umat manusia mempunyai pola hidup dan tata perilaku yang sejalan dengan Cara Berpikir yang dimiliki. Maka, kehidupan seseorang lebih dikarenakan akibat Cara Berpikir yang dimilikinya. Termasuk baik dan buruk perilaku seseorang juga dikarenakan Cara Berpikir yang dimilikinya. Dari simpul-simpul Cara Berpikir itulah umat manusia menjadi berbudaya dan berperadaban.
Posisi agama sangat berguna dalam mengendalikan nafsu umat manusia, agar Cara Berpikir yang dimiliki tidak mengikuti hawa nafsu. Tetapi mengarahkan dan memberikan motivasi kecerdasan supaya umat manusia memiliki Cara Berpikir yang selaras dengan wahyu Allah ta’ala. Sehingga semua yang dilakukan dan diaktifitaskan oleh seorang manusia benar-benar melahirkan kehidupan yang rahmatal lil alamin. Yakni, sebuah jaring kehidupan umat manusia yang: Meng-Allah-kan Allah; Me-manusia-kan Manusia; dan Meng-alam-kan Alam (Prinsip Trianggulasi, red). Dengan kata lain, seorang yang beragama hendaknya melahirkan budaya di kehidupan ini dengan kualitas dan kuantitas: “Seni” di dalam Meng-Allah-kan Allah; “Seni” di dalam Me-manusia-kan manusia; dan “Seni” di dalam Meng-alam-kan alam. Demikianlah dinul Islam mengajarkan tata pola kehidupan seorang yang beriman kepada Allah azza wa jalla dengan: Hablum minallah; Hablum minan nas; wa Hablum minal alam.
“Seni” dalam pemahaman yang luas adalah manifestasi dari Cara Berpikir seseorang. Tidak adanya “seni” dalam kehidupan seseorang. Berarti pula lenyapnya Cara Berpikir seseorang dalam kehidupannya. Maka, sudah seharusnya apabila seseorang itu beragama, dia pasti “cerdas” lagi berbudaya. Dan, inilah dasar dari lahirnya akhlak dan adab pada diri umat manusia.
Jadi, jelas sudah bahwa dekaden dan merosotnya akhlak dan adab umat manusia, juga dikarenakan Cara Beragama yang tidak tepat. Sehingga lahirlah Cara Berpikir yang melenceng jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Sekarang saat yang tepat untuk melakukan pembenahan konstruksi Cara Beragama dengan menjadikan agama sebagai motivator kecerdasan. Sehingga eksistensi agama lebih progresif. Dengan demikian lahirlah banyak produk budaya yang menjadikan kehidupan umat manusia lebih SSB.
Agama diposisikan sebagai pusat budaya (center of culture). Dengan demikian lahir produk budaya relijius yang membawa umat manusia pada kehidupan lebih: berkah; baik; benar; dan penuh kasih sayang. Itulah sosok manusia beragama. Manusia yang progresif karena memiliki akhlak dan adab kasih sayang yang menjadikan dirinya memiliki kearifan-kearifan. Yang mana dengan kearifan tersebut kehidupannya lebih SSB .
Sebaliknya, jika agama tidak mampu melahirkan produk budaya. Maka, agama menjadi kering dari sentuhan relijius. Akibatnya, budaya berdiri sendiri dengan menafikan agama dari proses perjalanannya. Ini sangat membahayakan sebab budaya tersebut pasti melahirkan peradaban umat manusia yang anomali nilai. Sehingga manusia menjadi terasing dengan dirinya sendiri. Manusia menjadi lupa terhadap dirinya sendiri. Puncaknya umat manusia lupa dari mengingat Allah ta’ala. Di mana manusia tenggelam dengan kehendak hawa nafsunya. Manusia mencintai dunia dan segala isinya. Di antara manusia hidup dengan saling berkhianat dan adu domba. Maka, dunia berisi dengan manusia tamak dan para pecintanya. Inilah awal dari kehidupan dunia yang rusak dan porak poranda.
Ketika dunia menjadi rusak akibat polah tingkah umat manusia yang mengikuti hawa nafsunya. Tidak ada cara untuk menetralisir kecuali dengan memaksimalkan peran agama dan budaya dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya agama dan budaya. Yaitu, agama yang melahirkan produk budaya yang berupa: Teologis; Humanis; dan Ekologis (THE).
Artinya, agama menjadi dasar yang kokoh di dalam lahirnya masyarakat yang: berbudaya tauhid (telogis); berbudaya saling menyayangi (humanis); dan berbudaya melestarikan alam (ekologis).
Seharusnya semua itu dimiliki oleh masyarakat bangsa Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius. Bangsa yang menjadikan agama sebagai dasar falsafah negara. Seperti termaktub dalam Pancasila sila ke-1, dalam UUD 1945 pasal 29 ayat ke-1, juga dalam Pembukaan UUD 1945. Bangsa yang masyarakatnya memiliki kesadaran keagamaan dan keberagamaan yang melahirkan kecerdasan budaya. Yang mana itu ditandai dengan terdapatnya kebiasaan-kebiasaan bagus, boleh jadi hal itu merupakan kearifan-kearifan lokal, yang menjadikan bangsa ini kaya dengan budi pekerti dan tatakrama. Bangsa besar karena memiliki akhlak dan budaya yang adi luhung dengan mengedepankan Prinsip Trianggulasi.
Sehingga sangat memalukan apabila bangsa Indonesia menjadi bangsa koruptor, bangsa ruwet, bangsa yang alamnya rusak, bangsa yang masyarakatnya lupa dengan dirinya. Maka, Indonesia memetik multi krisis seperti sekarang ini.
Dengan kata lain, negera Indonesia gagal di dalam mengapresiasi agama dan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Dan, masyarakat bangsa ini juga gagal di dalam melakukan pribumisasi agama dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga lahir budaya-budaya yang sangat jauh dari nilai-nilai THE. Maka, mayoritas bangsa Indonesia yang penduduknya memeluk agama, di situ mayoritas pula hidup dalam wilayah yang tidak SSB.
Di sinilah para pengabdi negara harus bertanggung jawab. Mereka harus mampu mengoptimalkan eksistensi agama dan budaya menjadi lebih strategis. Maksudnya, agama harus didesain mampu melahirkan kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Kaum agamawan tidak lagi berada dalam menara gading. Sebaliknya, mereka harus mampu memberikan good services dalam kehidupan umat manusia. Ketinggian ilmu seseorang benar-benar dintandai dengan sikap mental dan perilaku good services. Mereka terukur dengan biasaan baik yang berupa sejauhmana mereka melakukan good services.
Apabila kaum agamawan masih minta dilayani, maka agama tidak akan pernah melahirkan budaya seperti yang alfaqir paparkan dalam tulisan ini.
Apabila kita mengaku sebagai orang yang beragama. Maka, harus mampu menunjukkan sikap mental dan perilaku budaya kita dalam kehidupan sehari-hari. Apakah masih mendahulukan kebencian? Atau, sudah mampu mendahulukan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari?
Sudah barang tentu yang dapat menjawab adalah diri kita sendiri. Iya bukan?!! [ ]

0 komentar:

Posting Komentar