Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Kearifan Lokal

*Prof. Dr. Abdu A’la


Akhir-akhir ini degradasi moralitas sosial mewabah akut menjangkiti masyarakat bangsa. Kebiadaban nyaris melekat dalam hidup keseharian kita. Ambil contoh, kekerasan seakan-akan telah menjadi jalan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang kita hadapi.
Dalam konteks degradasi moral itu pula, kita melihat maraknya “tradisi” korupsi, aji mumpung dan sejenisnya yang dilakukan beberapa oknum pejabat dan pengusaha yang hingga saat ini belum mengalami penurunan berarti. Bancaan uang negara dan rakyat terus dilakukan oleh tikus-tikus penjahat berkrah putih ini. Memperkokoh kondisi ini, politik kekuasaan dalam beragam bentuknya menjadi model anutan banyak kalangan di sembarang lembaga dan organisasi. Dengan kekuasaan yang dibungkus berbagai label, mereka melakukan hampir segalanya; merugikan rakyat dan mengeruk keuntungan untuk diri sendiri.
Menyikapi kondisi Indonesia kekinian, kita mungkin agak berlebihan jika menganggap negara ini negara anarkis, negara keserakahan, dan negara kekuasaan. Namun realitas di sekitar kita hampir seutuhnya mengarah kepada anggapan itu. Persoalan ini yang seharusnya dibincang dengan serius untuk menata kembali keindonesiaan kita.

Indonesia Masa Lalu
Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lainnya sejatinya juga menunjuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan menapaki kehidupan mereka.
Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.
Namun dari waktu ke waktu, nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi simbol yang tanpa arti. Bahkan akhir-akhir ini budaya masyarakat hampir secara keseluruhan mengalami reduksi, menampakkan diri sekadar pajangan yang sarat formalitas. Kehadirannya tak lebih untuk komersialisasi dan mengeruk keuntungan.
Tentu banyak faktor yang membuat kearifan lokal dan budaya masyarakat secara umum, kehilangan geliat kekuatannya. Selain kekurangmampuan masyarakat dalam memaknai secara kreatif dan kontekstual kearifan lokal mereka, faktor lainnya adalah pragmatisme dan keserakahan yang biasanya dimulai dari sebagian elit masyarakat. Kepentingan subjektif diri mengantarkan mereka untuk “memanfaatkan” kearifan lokal. Mereka menggunakannya secara artifisial, tapi sekaligus menghancur-leburkan nilai-nilai luhur yang dikandungnya.
Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungannnya masih bersifat patron-client “meneladani” sikap dan perilaku elit mereka. Pada sisi itu bencana budaya mulai berkecambah dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak mampu lagi melihat, apalagi menyelesaikan, secara arif hampir persoalan yang menimpa mereka. Krisis demi krisis lalu menjadi bagian hidup bangsa.

Rekonstruksi Kearifan Lokal
Kendati tidak menjamin persoalan akan selesai, rekonstruksi kearifan lokal sangat niscaya untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jatidiri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka.
Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai.
Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa, masing-masing lalu merajut kebhinnekaan, menjadikannya untaian yang kokoh dan indah. Dengan untaian yang menyatukan satu dengan yang lain, mereka  bersama-sama menyelami kehidupan secara arif dan bijak. Di sana pijar-pijar lampu kehidupan pasti akan menerangi menuju kehidupan yang lebih baik, sejahtera, damai dan penuh keadilan. (MAYAra Geographic)

*Penulis adalah cendikiawan Muslim Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar