Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Belajar Cinta Lingkungan Dari Kota-Kota di Dunia

*Prof.Dr.H. Suparto Wijoyo, M.Hum


Pembaca MAYAra. Belajar dari yang pintar dan meniru dari yang maju merupakan tindakan mulia. Cara pemegang otoritas Utrecht, Groningen, Amsterdam, dan kota-kota lainnya di Belanda dalam mengelola kanal-kanalnya dengan airnya yang berkilau jernih tentulah menarik diikuti.
Perjalanan menyusuri Sungai Seine dapat menggugah nurani ekosistemik untuk menjadikan Kali Brantas, dan Kalimas, atau pun sungai-sungai kota  di Indonesia sebagai pusat perlancongan. Paris dapat mengembangkan pariwisatanya bersandarkan pada ritme geografis Sungai Seine. Di sisi kanan atau pun kiri Sungai Seine berjajar sambung-menyambung 38 obyek wisata, antara lain, Toure Eiffel, Trocadero, Place de la concorde, Assemble Nationale, Musse d'Orsay, Ile de la Cite, Institut de Monde Arabe, Hotel de Ville, Bastille, dan lain-lainnya.
Keindahan di kota-kota Eropa semakin lengkap dengan banyaknya ruang publik dan taman kota dengan aneka ragam burungnya, terutama burung “si setia” Merpati serta transportasi umum berupa bus maupun kereta bawah tanah (metro) yang aman-nyaman. Kapan kota-kota di Indonesia memiliki angkutan rakyat yang layak pakai sebagaimana halnya di banyak kota di Eropa? Di samping itu, pesona Danau Lemann di jantung kota Geneva (Swiss) mestinya dapat diteladani untuk mengembangkan Bundaran Waru (perbatasan antara Sidoarjo-Surabaya, red) yang dulu sempat menampung air hujan. Apa hendak dikata, Bundaran Waru dewasa ini malah ditimbun tanah, persis seperti lahan pekuburan. Bundaran Waru mengerang kesakitan mananggung beban kolektif dosa ekologis komponen birokratik yang tidak apresiasif terhadap lingkungan. Bundaran Waru sudah sirna dalam derap “kemajuan” dan dililit dengan “jala (bukan jalan) tol” yang melayang di pusaranya.
Lebih dari itu, ada lagi. Sampah di kota-kota telah menimbulkan tragedi sosial dan drama lingkungan yang besar: Seluruh lorong kota menjadi tidak higienis untuk lahan hunian akibat sengatan bau anyir, amis, dan bau busuk sampah. Tampat Pembuangan Akhir (TPA) sekadar dijadikan arena pembuangan, dan bukannya lokalisasi pengelolaan. Sampah diartikan sebagai materi yang harus dibuang, tidak sebagai “sumber energi” yang perlu di-manage. TPA menurut UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang saya ikut bikin adalah Tempat Pemrosesan Akhir. Berarti di TPA sampah akan diolah menjadi energi.
Negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, maupun Perancis melihat sampah sebagai persoalan serius dan “barang berharga”. Maka, perangkat hukumnya masuk dalam derajat undang-undang (UU). Bacalah Wet Miliuebehernya-nya Belanda. Pemerintah Kota di Belanda saling bekerjasama untuk mengelola sampah secara gotong-royong berdasarkan Undang-undang Kerjasama Antarpemerintah Daerah. Warga kota membuang sampah seminggu sekali pada hari tertentu yang berbeda-beda di setiap zonanya. Sampah yang dibuang sudah dipilah, untuk memudahkan daur ulang.
Menyusuri kota-kota di Belanda, Jerman, Belgia, Luksemburg, maupun Perancis, memang terasa asri. Keutuhan hutan-hutan kota dan cara mereka merawatnya patut dicontoh. Perjalanan panjang meretas di pinggiran kota-kota Belgia (Bastogne, La Roche, Dinant, Liege, Coo, Spa, Namur, Boullion, dan Han's Lesse), di Luxemburg (Clervaux, Viaden, Diekirch, Echternach, Remich, dan Witz le Catheau), maupun di Jerman (Koln, Frankfurt sampai ke Basel Bad)  tampak terlihat keanggunan “hutan mini” yang terawat. Hamparan lahan hijau yang luas menjadikan hati ini terkesan. Di sana rupa-rupanya tidak ada penjarah yang doyan “menyantap dengan lahap” hutan kota. Di Negara maju terdapat kesadaran yang tinggi tentang betapa pentingnya fungsi taman kota bagi keberlanjutan kehidupan. Sementara itu pengalihfungsian lahan kerakyatan atau pun taman kota-kota di Indonesia nyaris tak terkendali. Taman kota sedang digeser oleh “taman plastik”.
Tentulah masih banyak pekerjaan para walikota nantinya. Setiap warga kota pun dapat mengekspresikan pemikirannya secara brilyan untuk mempercantik kota. Telah tiba saatnya bagi kota menari gemulai dengan iringan gendang yang rancak menuju harmonisitas kehayatan warganya. Mari kita jalin keakraban sebagai warga yang memiliki ghirah perkotaan. Distorsi nilai yang terjadi harus diproyeksi ulang dan dikoreksi secara total.

*Dosen Hukum Lingkungan Universitas Airlangga dan
  Guru Besar Luar Biasa MTI Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar