Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Seperti Kwan To Melengkung di Kampung Pesaren


Kapal-kapal itu selalu muncul dari balik kabut di tengah laut. Muncul begitu saja laksana kapal hantu. Tidak ada pertanda isyarat atau lampu. Bahkan derunya begitu lamat membelah riak gelombang. Ya, kapal-kapal itu muncul begitu saja dari balik kabut. Tak teraba arah datangnya, tiba-tiba sudah di depan mata para nelayan, menyorongkan lambungnya yang hitam kokoh. Angkuh betul seolah merekalah empunya lautan, merintangi jalan atau kadang melaju kencang, seolah hendak menerjang siapa saja yang berani menghadang haluan. Telah kerap mereka merobek pukat yang ditebarkan, menabrak bagan, atau bahkan menderu ke arah perahu-perahu sampan, hingga berlompatanlah para nelayan, menceburkan diri ke dingin air laut menjelang fajar.
            Demikianlah sejak sekian tahun yang lalu mereka datang. Tidak diundang dan seolah ingin mengekalkan hukum lama di lautan: siapa yang kuat, ia yang menang! Tak pernah jelas benar dari mana mereka bertandang (Ya, lantaran telah lama panji dan bendera memang tak lagi menjadi lambang), dan kian meraja pada tahun-tahun belakangan.
Tak ada yang mampu memberi mereka sekadar pelajaran. Karena seperti juga datangnya, mereka pun pergi menghilang (Tentu, setelah menguras ikan-ikan dengan trawl) tanpa jejak dengan lamat suara. Seakan lenyap begitu saja ditelan lautan, ke balik kabut tebal yang mengambang di atas gelombang. Atau, konon karena yang berwenang tak cukup menggubris keluhan di sepanjang pesisiran, walau telah sekian waktu kapal-kapal itu menebarkan keresahan (jelas sudah bala bencana!) kepada  nelayan.
            Hm, lautan! Siapa yang dapat menyelami misteri kandungannya? Penuh kemungkinan yang tak terduga, juga perkara! Dan seringkali mautlah akhir petaruhannya. Maka, dulu ketika A Hauw mengumpulkan segenap penghuni kampung Pesaren—orang-orang bermata sipit berkulit legam yang menggantungkan harapan dan masa depan pada asinnya air laut—untuk melawan meski tahu tipis harapan bakal menang, Paman Cung sebagai kepala dusun hanya menghela nafas panjang.
            “Apa sudah kalian pikirkan masak-masak semuanya?” air muka lelaki paroh baya itu sekeruh mendung yang menggantung di atas laut. Tapi wajah-wajah yang berkumpul telah garang membesi, dengan kesumat dendam tersirat di mata berbaur kecemasan.
Ai, di antara perempuan-perempuan yang ikut berkumpul di tepi pantai saat itu, Kim Moy—sambil menggandeng tangan anak laki-lakinya yang baru berumur lima tahun setengah—diam-diam menyusut air mata yang berlelehan. 

***

Telah kukatakan di atas, kapal-kapal itu selalu muncul begitu saja dari balik kabut tebal. Menderu dalam lamat suara yang tertelan gemuruh ombak. Kadangkala,  lambungnya yang hitam kokoh tampak berkilau oleh cahaya bulan yang menyeruak dari balik gumpalan awan. O, di bawah terang purnama yang membuat air laut berkemilau, kapal-kapal itu laksana raksasa menyeramkan. Begitu mencekam dan mengancam.
            Hingga tak heran, di kampung Pesaren pun kemudian terlahir dongeng-dongeng seram. Yang acapkali tercipta lantaran niat baik semata, oleh para orang tua yang ingin menakut-nakuti anak-anaknya agar tak nakal, bawel dan suka melawan. Apabila kalian mampir ke kampung kami, masih akan sering mendengar ancaman itu terlontar dari mulut para ibu: “Jangan main ke laut kalau sudah gelap, Moi! Ada raksasa yang suka makan anak-anak!” atau “Sudah malam, masuklah ke rumah, Ku! Nanti kau dibawa kapal hantu seperti bapaknya A Kwet!”. 
            Memang, sejak sekian tahun silam, puluhan orang telah hilang tak berkabar. Atau kalau ditemukan sudah membengkak biru di pantai seberang (Syahdan, dikembalikan laut lantaran baik perangai dalam menjaring ikan, yakin orang-orang), di dekat Pulau Lampu hingga ke tepian Pulau Dua yang kerap terucapkan dalam sebuah pantun lama. Bapaknya A Kwet yang suka disebut misalnya, suatu ketika pergi melaut sebagaimana biasa bersama seorang keponakan, sempat berpesan pamit pada anak istri namun tak pernah kembali. Lenyap begitu saja ditelan luas lautan, meninggalkan nama, sedu-sedan anak-istri dan teka-teki, paling tidak kemudian ancaman yang terlontar pada anak-anak nakal itu.
            Anak-anak yang berkarib dengan nasib tak menentu! Nasib yang digariskan oleh samar garis pantai dan lautan, laiknya permainan judi kartu Kiu-kiu alias Sembilan-sembilan. Ya, semenjak kecil mereka seakan telah diharuskan untuk belajar bertaruh nasib—belajar pula menikmatinya—seperti mereka belajar bertaruh di atas meja judi.
Di kampung kami, judi memang sudah menjadi kerutinan, mungkin hampir seperti sarapan. Semangat membanting kartu, teriakan girang mendapatkan jumlah sembilan atau umpatan kotor atas kartu buruk, adalah pemandangan dan irama keseharian di tiap sudut kampung. Dan kami, entah sejak kapan, menafsirnya seirama dengan menebar jaring di lautan.
Ada gairah yang serupa tersimpan. Meja judi dan lautan, kartu dan jaring, betapa mendebarkannya di dada kami, membakar darah kami. Nasib untung atau buntung hanyalah petaruhan semata. Tidak lelaki atau perempuan, tua atau muda.
Bagi kaum lelaki, sehabis pulang melaut, kartu-kartu dengan segelas kopi kental adalah pelepas penat yang istimewa, pembalik gairah yang manjur buat menantang lagi ganas lautan. Betapa nikmat satu ketegangan dibasuh dengan ketegangan yang lain. Untuk yang kurang beruntung di lautan—yang membawa pulang sedikit tangkapan atau tidak sama sekali—senantiasa ada harapan tersembunyi di balik kartu-kartu, siapa tahu nasib yang lebih mujur menanti di atas meja, meski ujung-ujungnya seringkali buntung lagi! Pun yang membawa pulang berkah lautan, apa salahnya merayakan kemenangan semalaman dengan bergembira bersama angka-angka, siapa yang bisa menduga kalau kemujuran datang berganda? Walau kenyataannya lebih kerap ikan-ikan besar dan segar ludes di atas meja taruhan! Terang dongkol dan sakit hati, tetapi selalu badan yang penat oleh ombak lautan kembali disegarkan oleh gairah membanting kartu di atas meja.
            Sedang bagi kaum perempuan, di tepi pantai yang sepi, hiburan apalagi yang dapat menggantikan rewel anak minta inang dan pengap asap dapur? Sambil bergunjing, untuk sesaat melupakan rasa cemas menanti suami pulang dari laut, apa salahnya mempertaruhkan sisa uang belanja?   

***
Entahlah, mendung yang menggantung di langit pada malam suaminya mengumpulkan segenap penghuni kampung Pesaren itu, di mata Kim Moy terlihat seperti kartu-kartu buruk yang terpentang. Bukankah sedari kecil ia telah lihai membaca kartu, bahkan mahir menangkap isyarat mujur atau buntung cukup hanya melihat dua kartu awal?
            Tapi apa dayanya mencegah A Hauw dan para lelaki kampung lainnya yang telah meradang sekian lama lantaran kapal-kapal asing yang terus bertandang membajak harapan di balik kartu-kartu itu? Maka sambil menahan isak, ia hanya bisa menarik tangan anak lelakinya menjauh dari tepi pantai.    
            Kini Nen Ku, anak semata wayang itu baru saja berulang tahun ke sembilan (ai, angka tertinggi dalam judi Kiu-kiu!), tak pernah gentar pada dongeng dan mengabaikan setiap ujar-ujar mengancam. Setiapkali bocah itu memandang ke laut, entah kenapa, Kim Moy seolah merasa kedua mata anaknya seperti hendak menantang gemuruh ombak Laut Cina Selatan (atau para penjarah) yang telah merampas sang bapak. Penuh kemarahan, persis mata A Hauw suaminya. Dan bila sudah begitu, Kim Moy sering tergetar, lalu rasa nyeri kembali terasa menusuk dadanya, terkadang tak mampu ia menahan kesedihan yang berulang meleleh. 
            Seperti juga malam ini, Nen Ku tampak berdiri tak bergerak di tepi pantai. Berjaket usang. Ingin rasanya Kim Moy berlari ke pantai dan menyeretnya pulang, tetapi kakinya seolah tak kuasa digerakkan. Ia hanya terpaku menatap anaknya dari kejauhan, dan betapa ia membayangkan yang berdiri di sana adalah A Hauw.
            A Hauw, lelaki yang keras hati itu. Yang bersikukuh melamarnya meski orang tuanya tak merestui. Kim Moy yakin, tentu bukan perkara mereka bershio sama dan karena itu konon kurang baik menikah, sebagaimana alasan bapaknya. Tapi Lim Cai, anak tertua Tauke Lim ternyata menyukainya dan diam-diam telah menyuruh orang membisiki kedua orang tuanya. Tentu, di mata orang tuanya, dibandingkan dengan Lim Cai, A Hauw ibarat angka 6 yang tak malu menantang angka 9! Tapi begitulah, kendati berangka rendah, pas-pasan, A Hauw tak gentar menyorongkan tantangan sebagaimana permainan kartu Peh alias Poker! Baginya angka 6 bukan angka terakhir, permainan belumlah selesai. Masih banyak trik lagi yang belum dikeluarkan, dalam putaran kedua, ketiga, dan seterusnya. Siapa tahu tiga lembar As atau malah deretan kartu tertinggi menanti, seperti masa depan yang tak terduga! Kartu, bukankah alangkah serupa dengan laut yang gelap berahasia? Dan bagi A Hauw adalah amsal hidup itu sendiri.
            Tapi orang tuanya tak juga luluh, apalagi konon Lim Cai telah beriming-iming segala harta. Mereka pun nekat! Suatu malam bulan mati, ia masih ingat waktu itu menjelang hari raya Peh Cun1, ia menyerahkan segalanya kepada A Hauw. Ahai, di tepi pantai Pesaren, di balik sebuah perahu rusak tertambat dekat sisa pondok warung, mereka bergoyang hingga dini hari!
            Ketika akhirnya ia hamil—tentu, toh apa yang mereka perbuat di malam bulan mati itu terus saja berulang, orang tuanya marah bukan alang kepalang. Namun mau tak mau, melepaskannya dengan tak ikhlas kepada A Hauw. Dan tampak merengut begitu masam tatkala menerima suguhan teh mereka saat Liang Pai2 pernikahan. Ya, apa boleh buat, barang yang sudah bolong terang tak lagi laku dijual! Tentu saja Lim Cai mundur bergegas sambil mengumpat-mencaci!
            Dan kini, ia mengenang lagi semua itu dengan dada yang semakin sesak melihat anak lelakinya berdiri termangu di tepi pantai. Sementara di langit, bulan tampak melengkung bagaikan golok suci Kwan To3. Angin yang berhembus kencang menghempaskan daun jendela, daun-daun nyiur yang menjulang sepanjang pantai bergemerisik riuh. Bagaimana pun, sebagai ibu, ia ingin sekali merengkuh Nen Ku ke balik selimut. Tetapi lagi-lagi langkahnya tertahan oleh butiran air mata lantaran kata-kata anak lelakinya itu pagi tadi terngiang kembali, tepat benar menohok ulu hati.
            “Umurku hari ini sudah sembilan tahun, Ma. Papa dulu bilang, aku boleh ikut melaut, boleh tidur di bagan kalau sudah sembilan tahun,” gumam Nen Ku yang baru pulang sekolah sambil melahap bubur ayam buatannya. Kim Moy bagai tersentak, piring yang sedang dicucinya nyaris saja terlepas dari tangan. Sehingga Dominikus, perantau jauh asal Flores yang telah lama berdiam di kampung Pesaren itu, yang kebetulan lewat di depan rumah kaget dan menghentikan langkah. Tiba-tiba saja lelaki hitam keriting itu sudah ada di depan pintu. Mereka saling bertatapan untuk sesaat.
            “Kalau mau melaut, malam nanti ikut perahu Oom saja! Oom tunggu di tepi pantai!” tukas lelaki yang masih membujang itu pada Nen Ku lalu bergegas berlalu setelah mengangguk padanya. Kim Moy tertegun, dan tiba-tiba merasa begitu gelisah. Entah kenapa! Ia tahu, Domi diam-diam suka meliriknya bila berpapasan dan kerap gugup kalau bicara berhadapan. Malah beberapa kali dengan malu-malu, lelaki itu sempat menawarkan diri mengantarnya dengan sepeda motor ketika ia sedang menunggu bus “Gobu” hendak pergi belanja ke kota kecamatan. Namun selalu ia tolak dengan halus.

***

Semoga ia bertepat janji! Batin Kim Moy dalam hati. Atau ia harus segera menyeret Nen Ku pulang, tak tahan lagi melihat si anak semata wayang sendirian berangin malam menunggu di tepi pantai. Sudah lewat jam sepuluh, perahu-perahu lain sudah berangkat ke bagan. Kenapa Domi belum pula muncul? Kim Moy kian gelisah.
            Akhirnya ia melihat lelaki itu juga, muncul dari balik kelebatan semak-semak belukar tepi pantai dengan lampu stromking bergoyang-goyang di tangan kanan sementara tangan kirinya menyeret jaring. Nen Ku tampak berpaling dan segera berlari menyongsong lelaki itu. Dari pintu rumah, Kim Moy menyaksikan keduanya berjalan beriringan ke laut, lalu berhenti pada tambatan sebuah perahu. Ia bergegas mencari sandal jepitnya, menyambar senter yang tergantung di samping pintu, menuruni tangga, dan berlari ke pantai.
            “Kenapa Mama menyusul kemari?” tanya anaknya ketika ia sampai di pinggir pantai dengan nafas ngos-ngosan. Ia mengatur nafas dan bertabrakan mata dengan Dominikus. Lelaki itu tersenyum.
            “Hati-hati di laut Nak, jangan omong jorok sembarangan, nurut sama Oom Domi ya?” Tak tahan, direngkuhnya tubuh Nen Ku dan diciuminya ubun-ubun anak lelakinya. Seharusnya ia melarang Nen Ku pergi. Tapi sekali lagi, ia tahu, sebagaimana A Hauw, anak lelakinya itu nyata mewarisi sifat keras hati dan keras kepala sang bapak. Susah untuk dibantah apabila sudah punya kehendak! Akhirnya ia berpaling pada Domi dengan ragu, “Saya titip anak saya, Bang.”
            “Tenang saja Ce, saya tidak terlampau jauh ke tengah,” lelaki itu tersenyum lebar, mencoba meyakinkannya. Ia segera mengerti, kalau lelaki itu tak melaut benar malam ini selain sekadar menemani anaknya.
            Ia hanya melambai ketika perahu sampan itu melaju membelah ombak dengan deru motor yang bising, membawa serta anaknya. Tapi lagi-lagi, tetap saja ia tak bisa menahan air mata. Seiring perahu motor yang kian menjauh, ia seolah melihat lagi pemandangan pada malam yang mendung itu. Ketika semua lelaki kampung berarak ke kelenteng Kwan Ti di tengah kampung dipimpin suaminya. Semuanya dengan takzim membakar hio di depan altar sang dewa, mengucapkan doa memohon perlindungan sebelum akhirnya membawa kertas-kertas phu4 ke tepi pantai, membakar dan melarungkan abu kertas-kertas berisi mantera dewata itu ke laut.
            Tapi A Hauw tak pernah kembali. Hanya kemejanya yang basah oleh air laut bercampur darah!
            Ia menggigit bibir menahan suara tangis ketika perahu sampan yang membawa anaknya tinggal setitik kerlip dalam gelap di antara kabut yang mulai turun di kejauhan. Di langit, tampak olehnya bulan sabit masih tergantung muram. Menyerupai golok suci Kwan To milik Dewa Kwan Ti, sang dewa perang… Dan mendadak ia menggigil membayangkan kapal-kapal itu bermunculan lagi dari balik kabut tebal yang mengambang. Entah kenapa, dalam benaknya terpentang pula kartu-kartu yang berjumlah buntung di atas meja petaruhan!(*)                                                                                                         
                                                                                                                                                                          
Catatan
  1. Pesta Laut setiap tanggal 5 bulan Go Gwee Imlek, masih rutin digelar oleh masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka.
  2. Menghantarkan teh kepada orang tua dalam adat pernikahan Cina.
  3. Golok lengkung bercula yang bertangkai panjang milik Dewa Kwan Ti (baca epos SAM KOK—The Three Kingdom).
  4. Kertas kuning persegi panjang yang ditulisi mantera sebagai jimat/ penangkal bala.

¨ Sunlie Thomas Alexander, mahasiswi Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, esai, dan catatan sepakbola di berbagai media, baik cetak maupun online. Buku cerpennya yang telah terbit berjudul Malam Buta Yin (Gama Media, 2009). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buah bukunya yang lain, Istri Muda Dewa Dapur (kumpulan cerpen) dan Sisik Ular Tangga (kumpulan puisi). Ia aktif di Parikesit Institute, Yogyakarta dan mengelola sebuah penerbit indie, Ladang Pustaka.  Email: ladangbiru2@gmail.com
No. Kontak: 0852-6732-8612


0 komentar:

Posting Komentar