Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

GreenKhutbah, Mengapa Tidak?


Khutbah Jum’at merupakan media mingguan kaum mukminin-muslim yang sangat cocok sebagai sarana mencerdaskan nalar pikir umat Islam. Meskipun kenyataannya masih banyak orang mengaku Islam tetapi tetap saja meninggalkan shalat jum’at dan khutbah jum’ah. Jika orang itu cerdas pasti mendatangi khutbah jum’at dan shalat jum’at, sebab secara keilmuan banyak hal yang didapatkan dari materi khutbah yang disuguhkan para khatib. Sekarang saat yang tepat para khathib untuk menambah penguasaan keilmuan, agar khutbah jum’atnya diminati oleh audein.

“GreenKhutbah” adalah terobosan yang sangat mendesak untuk dilakukan para khatib dari atas mimbarnya guna memberikan pencerahan sekaligus penyadaran, bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah kita semua. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan umat manusia.
“GreenKhutbah” harus dikemas secara tematik dengan penyampaian yang relatif sangat singkat. Dalam penyampaian yang sangat singkat tersebut audien harus diestimasikan mampu menerima dan mencerma materi khutbah tersebut. Karena materi masalah lingkungan maka sekuat tenaga khatib harus menghindari penggunaan kata-kata yang menjadikan audien sulit mencerna, atau menghafal. Ingat, masyarakat sudah terkadung latah dengan serba instan maka para khatib hendaknya menggiring audien untuk mau lagi belajar dan CC dengan ilmu yang dipelajari, meskipun ilmu itu didapatkan dari mimbar jum’at yang sangat singkat lagi padat. Maka, para khatib dituntut kepiawaian lahir-batin dalam membawakan “GreenKhutbah”.
“GreenKhutbah” menggiring manusia untuk sadar terhadap posisi setiap manusia terhadap lingkungan hidupnya. Kemudian, mengajak audein untuk terlibat aktif dalam merawat lingkungan hidup. Itulah sebabnya, seorang khatib ketika hendak menyampaikan tema-tema ekologis harus mau belajar dan menguasai istilah dan data empiris. Semua itu bertujuan untuk menghayati secara seksama terhadap meteri khutbah ketika menyampaikan khutbahnya.
Memang khatib tidak dituntut untuk menjadi orang yang “serba tahu”. Namun khatib harus menjadi orang “bijak” yang sangat memahami segenap apa yang disampaikan tanpa harus ada energi menggurui. Sebaliknya, seorang khatib harus menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Sehingga setelah jama’ah shalat jum’at usai para audien langsung mengmabil sikap nyata yang berupa aksi lapangan untuk menjalankan apa-apa yang sudah didengar dari “sang khatib” tersebut.
Misalnya, mengajak menanam dengan model polyback. Audiens setelah pulang jum’at langsung merespon dengan tindakan nyata mencari polyback dan mengisinya dengan tanah lalu menanami atau menyemai bibit yang dikehendaki. Inilah “Ngaji Laku” yang harus didorong untuk segera dilakukan pribumisasi “ngaji”.

Awali Dari Diri Sendiri
Karena khatib menyampai sesuatu yang baik-baik dan benar menurut al-qur`an dan al-hadis serta menurut ilmu pengetahuan dan al-hikmah. Tidak ada cara paling bijak melainkan “sang khatib” hendaknya mengawali lebih dahulu dari tema-tema ekologis yang hendak disampaikan, seperti: menanam, merawat bumi, hemat air, hemat energi, dan ramah lingkungan. Khutbah jum’at menjadi manjur apabila “sang khatib” sudah melakukan terlebih dahulu. Sebab, ketika menyampaikan khutbahnya benar-benar menghayati.
Ini, menjadi berbeda apabila “sang khatib” tidak melakukan tindakan ekologis lebih dulu. Audien merasakan apa-apa yang disampaikan dalam khutbah jum’at terasa hambar karena kurang penghayatan “sang khatib”.
Menjadi auto kritik positif apabila selama ini “sang khatib” yang cenderung tidak mau “belajar” maka dengan “GreenKhutbah” sangat dituntut untuk terus belajar, sebab kondisi lingkungan hidup yang terus melakukan “penyesuaian” dengan kehidupan umat manusia. Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup sangat cepat, jikalau “sang khatib” tidak mau terus belajar dan senantiasa memahami perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup maka “GreenKhutbah” (Khutbah Hijau) yang disampaikan menjadi tidak relevan dengan kenyataan yang dialami oleh mad’u (audiens).
Secara visioner, khutbah tidak saja menyampaikan realitas keagamaan, akan tetapi secara integral juga menyampai realitas keberagamaan. Sehingga pesan Islam menjadi sangat aplikatif dan dapat dikerjakan oleh setiap orang Islam. dengan kata lain, khatib senantiasa mengajak untuk kembali hidup sejalan dengan jalan Allah dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari “Rahmah Kemanusiaan & Ramah Lingkungan”.
Tidak saja materi khutbah dan para khatib dituntut melakukan penyesuaian paradigma dalam berkhutbah. Namun masjid juga harus mengalami “penyesuaian” supaya menjadi “GreenMasjid” (Masjid Hijau). Yaitu, masjid yang rimbun dengan banyak tanaman dan tumbuhan yang dapat menghasilkan oksigen dan air. Sehingga oksigen yang ada di ruangan masjid benar-benar bersih dan dingin, dengan demikian tidak butuh lagi alat pendingin udara (AC) atau kipas angin. Disamping itu, mata air yang ada di sekitar masjid juga tidak kering dikarenakan banyak pohon yang akarnya menjadi “bank air”.
Ini sangat kontras dengan kenyataan masjid-masjid yang ada di negeri ini. Utamanya, masjid-masjid baru yang didirikan dengan semangat “pokok ada masjid”, atau dengan prinsip “harus ada masjid”. Maka, pemandangan yang terlihat bermunculan masjid-masjid “kering” dan tidak memenuhi syarat sebagai masjid yang ramah lingkungan. Dan, hal itu berdampak pula pada “sepinya” pengunjung masjid terutama ketika shalat subuh berjama’ah. Karena masjid tidak lagi menjadi “magnet” bagi kaum muslimin-mukmin. Sangat disayangkan apabila masjid “sekadar” menjadi masjid kelompok tidak lagi menjadi “baitullah”.
Dewasa ini kaum muslimin sudah memasuki stadium 4 terkena sindrom “mahjub bil-masajid” (tersekat dengan masjid). Maksudnya, kaum muslimin tidak lagi menjadikan masjid sebagai “rumah damai” mereka. Sebaliknya, keberadaan masjid sekadar menjadi simbol, utamanya symbol kemegahan secara kapitalis.

Sang Khatib
Di era krisis ekologi seperti dewasa ini “sang khatib” tidak sekadar menjadi penyampai khutbah, atau pembaca khutbah, namun khatib harus mampu menjadi “blantik budaya” bagi umatnya. Sebab, umat yang hendak menerima pesan khutbah sudah banyak menerima informasi baik dari: buku, majalah, koran, jejaring sosial, dan internet.
Di era pemanasan global seperti sekarang ini, khatib harus mampu secara piawai menggiring jama’ahnya untuk mau “berdialog” dengan “sang khatib”. Jangan malah sebaliknya, “sang khatib” membuat jama’ahnya “malas” untuk mendatangi khutbahnya. Setidaknya, khutbah harus didesain ulang supaya jama’ah yang mendengarkan atau mengikuti khutbah tidak merasa dipasifkan.
Gagasan segar secara tematik, utamanya yang menyakut isu lingkungan hidup dapat menjadi “terapi” kegelisahan jiwa bagi para jama’ah. Jiwa yang gelisah seringkali menjadi tenang apabila ia tidak merasa sendirian, dan diberikan “tanggung jawab” berpikir dalam ikut serta memecahkan problematika masa depan umat manusia dan bumi. Selama ini khutbah jum’at hanya disampaikan secara monoton. Jama’ah dibiarkan saja mendengarkan apa-apa yang disampaikan “sang khatib”, dan di banyak kesempatan “sang khatib” tidak mengambil peran sebagai “guru” bagi jama’ahnya.
Itulah sebabnya, banyak jama’ah yang tertidur ketika mendengarkan “sang khatib” menyampaikan materi khutbah. Kebanyakan jama’ah di luar masjid sudah penat dengan kehidupan yang ruwet dan beban ekonomi keluarga yang menghimpit, maka ketika mengikuti khutbah, mereka seolah mendapatkan relaksasi yang menyegarkan jiwa.
Akan tetapi pasca mengikuti khutbah jum’ah, mereka tidak kuasa melakukan “perlawanan” terhadap diri sendiri. Akibatnya, banyak jama’ah justru mengalami pribadi pecah setelah mengikuti khutbah jum’ah atau khubat yang lain, dikarenakan mereka tidak diberi “ruang belajar” di dalam nalar pikir mereka. Sehingga dari waktu ke waktu terus-menerus bertanya-tanya namun tidak mampu menjawab setiap pertanyaan yang muncul dari dalam hatinya. Kondisi jiwa seperti ini sangat membahayakan jika mereka bertemu dengan orang yang salah dalam menjelaskan masalah agama.
Dengan bingkai pembelajaran yang jelas, yakni: teologis, humanis, dan ekologis. “Sang Khatib” dapat terus mengembangkan materi khutbah dalam rangka melakukan proyeksi sosial jama’ah untuk menjadi umat Islam yang: disiplin, amanah, sungguh-sungguh, dan saling menyayangi.
Apalagi dalam kerja ekologis sangat dituntut setiap mereka untuk CC dengan DASS (Disiplin, Amanah, Sungguh-Sungguh, Saling Menyayangi). DASS tidak dapat landing manakala tidak didasarkan dengan “Segitiga Kekuatan”: Menomor-satukan Allah, Jujur, dan Ikhlas. Itulah sebabnya, khatib tidak sakadar dituntut untuk mampu menjadi “blantik budaya” (culture broker) akan tetapi khatib juga harus piawai dalam memerankan dirinya sebagai seorang yang berkemampuan: leadership & interprenuership.
Karena khatib itu milik umat, maka antara: khatib, ulama, dan masyarakat harus berjejaring secara kuat lagi harmonis sehingga umat Islam secara umum sangat diuntungkan dalam rangka menjadikan umat Islam unggul di masa-masa mendatang. Memang secara personal tidak diragukan lagi mengenai keunggulan seorang mukmin. Namun secara peradaban harus tetap diakui peradaban Islam masih menjadi “permainan” orang Barat zionois.
Khatib dituntut pula menjadi “pendidik” yang kuat dalam memberikan inspirasi, motivasi, dan keteladanan. Itulah sebabnya, “GreenKhutbah” sangat menekankan khatib harus mampu melakukan amal kebagusan terlebih dahulu yang berupa: Mendahulukan orang lain (al-itsar); Melayani orang lain (good services); Berani berkurban (al-qurbah); dan Santun (al-adab). [ ]

0 komentar:

Posting Komentar