Khutbah
Jum’at merupakan media mingguan kaum mukminin-muslim yang sangat cocok sebagai
sarana mencerdaskan nalar pikir umat Islam. Meskipun kenyataannya masih banyak
orang mengaku Islam tetapi tetap saja meninggalkan shalat jum’at dan khutbah
jum’ah. Jika orang itu cerdas pasti mendatangi
khutbah jum’at dan shalat jum’at, sebab secara keilmuan banyak hal yang
didapatkan dari materi khutbah yang disuguhkan para khatib. Sekarang saat yang
tepat para khathib untuk menambah penguasaan keilmuan, agar khutbah jum’atnya
diminati oleh audein.
“GreenKhutbah” adalah terobosan yang
sangat mendesak untuk dilakukan para khatib dari atas mimbarnya guna memberikan
pencerahan sekaligus penyadaran, bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah
kita semua. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan umat
manusia.
“GreenKhutbah” harus dikemas secara
tematik dengan penyampaian yang relatif sangat singkat. Dalam
penyampaian yang sangat singkat tersebut audien harus diestimasikan mampu menerima
dan mencerma materi khutbah tersebut. Karena materi masalah lingkungan maka
sekuat tenaga khatib harus menghindari penggunaan kata-kata yang menjadikan
audien sulit mencerna, atau menghafal. Ingat, masyarakat sudah terkadung latah
dengan serba instan maka para khatib hendaknya menggiring audien untuk mau lagi
belajar dan CC dengan ilmu yang dipelajari, meskipun ilmu itu didapatkan dari
mimbar jum’at yang sangat singkat lagi padat. Maka, para khatib dituntut
kepiawaian lahir-batin dalam membawakan “GreenKhutbah”.
“GreenKhutbah” menggiring manusia untuk
sadar terhadap posisi setiap manusia terhadap lingkungan hidupnya. Kemudian,
mengajak audein untuk terlibat aktif dalam merawat lingkungan hidup. Itulah
sebabnya, seorang khatib ketika hendak menyampaikan tema-tema ekologis harus
mau belajar dan menguasai istilah dan data empiris. Semua itu bertujuan untuk
menghayati secara seksama terhadap meteri khutbah ketika menyampaikan
khutbahnya.
Memang khatib tidak dituntut untuk menjadi
orang yang “serba tahu”. Namun khatib harus menjadi orang “bijak” yang sangat
memahami segenap apa yang disampaikan tanpa harus ada energi menggurui.
Sebaliknya, seorang khatib harus menjadi sumber inspirasi dan motivasi.
Sehingga setelah jama’ah shalat jum’at usai para audien langsung mengmabil
sikap nyata yang berupa aksi lapangan untuk menjalankan apa-apa yang sudah
didengar dari “sang khatib” tersebut.
Misalnya, mengajak menanam dengan model
polyback. Audiens setelah pulang jum’at langsung merespon dengan tindakan nyata
mencari polyback dan mengisinya dengan tanah lalu menanami atau menyemai bibit
yang dikehendaki. Inilah “Ngaji Laku” yang harus didorong untuk segera
dilakukan pribumisasi “ngaji”.
Awali
Dari Diri Sendiri
Karena khatib menyampai sesuatu yang
baik-baik dan benar menurut al-qur`an dan al-hadis serta menurut ilmu
pengetahuan dan al-hikmah. Tidak ada cara paling bijak melainkan “sang khatib”
hendaknya mengawali lebih dahulu dari tema-tema ekologis yang hendak
disampaikan, seperti: menanam, merawat bumi, hemat air, hemat energi, dan ramah
lingkungan. Khutbah jum’at menjadi manjur apabila “sang khatib” sudah melakukan
terlebih dahulu. Sebab, ketika menyampaikan khutbahnya benar-benar menghayati.
Ini, menjadi berbeda apabila “sang khatib”
tidak melakukan tindakan ekologis lebih dulu. Audien merasakan apa-apa yang
disampaikan dalam khutbah jum’at terasa hambar karena kurang penghayatan “sang
khatib”.
Menjadi auto kritik positif apabila selama
ini “sang khatib” yang cenderung tidak mau “belajar” maka dengan “GreenKhutbah”
sangat dituntut untuk terus belajar, sebab kondisi lingkungan hidup yang terus
melakukan “penyesuaian” dengan kehidupan umat manusia. Perubahan yang terjadi
pada lingkungan hidup sangat cepat, jikalau “sang khatib” tidak mau terus
belajar dan senantiasa memahami perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup
maka “GreenKhutbah” (Khutbah Hijau) yang disampaikan menjadi tidak relevan
dengan kenyataan yang dialami oleh mad’u (audiens).
Secara visioner, khutbah tidak saja
menyampaikan realitas keagamaan, akan tetapi secara integral juga menyampai
realitas keberagamaan. Sehingga pesan Islam menjadi sangat aplikatif dan dapat
dikerjakan oleh setiap orang Islam. dengan kata lain, khatib senantiasa
mengajak untuk kembali hidup sejalan dengan jalan Allah dengan mewujudkan dalam
kehidupan sehari-hari “Rahmah Kemanusiaan & Ramah
Lingkungan”.
Tidak saja materi khutbah dan para khatib
dituntut melakukan penyesuaian paradigma dalam berkhutbah. Namun masjid juga
harus mengalami “penyesuaian” supaya menjadi “GreenMasjid” (Masjid Hijau).
Yaitu, masjid yang rimbun dengan banyak tanaman dan tumbuhan yang dapat
menghasilkan oksigen dan air. Sehingga oksigen yang ada di ruangan masjid
benar-benar bersih dan dingin, dengan demikian tidak butuh lagi alat pendingin
udara (AC) atau kipas angin. Disamping itu, mata air yang ada di sekitar masjid
juga tidak kering dikarenakan banyak pohon yang akarnya menjadi “bank air”.
Ini sangat kontras dengan kenyataan
masjid-masjid yang ada di negeri ini. Utamanya, masjid-masjid baru yang
didirikan dengan semangat “pokok ada masjid”, atau dengan prinsip “harus ada
masjid”. Maka, pemandangan yang terlihat bermunculan masjid-masjid “kering” dan
tidak memenuhi syarat sebagai masjid yang ramah lingkungan. Dan, hal itu
berdampak pula pada “sepinya” pengunjung masjid terutama ketika shalat subuh
berjama’ah. Karena masjid tidak lagi menjadi “magnet” bagi kaum
muslimin-mukmin. Sangat disayangkan apabila masjid “sekadar” menjadi masjid
kelompok tidak lagi menjadi “baitullah”.
Dewasa ini kaum muslimin sudah memasuki stadium 4 terkena
sindrom “mahjub bil-masajid” (tersekat dengan masjid). Maksudnya,
kaum muslimin tidak lagi menjadikan masjid sebagai “rumah damai” mereka.
Sebaliknya, keberadaan masjid sekadar menjadi simbol, utamanya symbol kemegahan
secara kapitalis.
Sang
Khatib
Di era krisis ekologi seperti dewasa ini
“sang khatib” tidak sekadar menjadi penyampai khutbah, atau pembaca khutbah,
namun khatib harus mampu menjadi “blantik budaya” bagi umatnya. Sebab, umat
yang hendak menerima pesan khutbah sudah banyak menerima informasi baik dari:
buku, majalah, koran, jejaring sosial, dan internet.
Di era pemanasan global seperti sekarang
ini, khatib harus mampu secara piawai menggiring jama’ahnya untuk mau
“berdialog” dengan “sang khatib”. Jangan malah sebaliknya, “sang khatib”
membuat jama’ahnya “malas” untuk mendatangi khutbahnya. Setidaknya, khutbah
harus didesain ulang supaya jama’ah yang mendengarkan atau mengikuti khutbah
tidak merasa dipasifkan.
Gagasan segar secara tematik, utamanya
yang menyakut isu lingkungan hidup dapat menjadi “terapi” kegelisahan jiwa bagi
para jama’ah. Jiwa yang gelisah seringkali menjadi tenang apabila ia tidak
merasa sendirian, dan diberikan “tanggung jawab” berpikir dalam ikut serta
memecahkan problematika masa depan umat manusia dan bumi. Selama ini khutbah
jum’at hanya disampaikan secara monoton. Jama’ah dibiarkan saja mendengarkan
apa-apa yang disampaikan “sang khatib”, dan di banyak kesempatan “sang khatib”
tidak mengambil peran sebagai “guru” bagi jama’ahnya.
Itulah sebabnya, banyak jama’ah yang
tertidur ketika mendengarkan “sang khatib” menyampaikan materi khutbah.
Kebanyakan jama’ah di luar masjid sudah penat dengan kehidupan yang ruwet dan
beban ekonomi keluarga yang menghimpit, maka ketika mengikuti khutbah, mereka
seolah mendapatkan relaksasi yang menyegarkan jiwa.
Akan tetapi pasca mengikuti khutbah
jum’ah, mereka tidak kuasa melakukan “perlawanan” terhadap diri sendiri.
Akibatnya, banyak jama’ah justru mengalami pribadi pecah setelah mengikuti
khutbah jum’ah atau khubat yang lain, dikarenakan mereka tidak diberi “ruang
belajar” di dalam nalar pikir mereka. Sehingga dari waktu ke waktu
terus-menerus bertanya-tanya namun tidak mampu menjawab setiap pertanyaan yang
muncul dari dalam hatinya. Kondisi jiwa seperti ini sangat membahayakan jika
mereka bertemu dengan orang yang salah dalam menjelaskan masalah agama.
Dengan bingkai pembelajaran yang jelas,
yakni: teologis, humanis, dan ekologis. “Sang Khatib” dapat terus mengembangkan
materi khutbah dalam rangka melakukan proyeksi sosial jama’ah untuk menjadi
umat Islam yang: disiplin, amanah, sungguh-sungguh, dan saling menyayangi.
Apalagi dalam kerja ekologis sangat
dituntut setiap mereka untuk CC dengan DASS (Disiplin, Amanah, Sungguh-Sungguh,
Saling Menyayangi). DASS tidak dapat landing manakala tidak didasarkan
dengan “Segitiga Kekuatan”: Menomor-satukan Allah, Jujur, dan Ikhlas.
Itulah sebabnya, khatib tidak sakadar dituntut untuk mampu menjadi “blantik
budaya” (culture broker) akan tetapi khatib juga harus piawai dalam
memerankan dirinya sebagai seorang yang berkemampuan: leadership &
interprenuership.
Karena khatib itu milik umat, maka antara:
khatib, ulama, dan masyarakat harus berjejaring secara kuat lagi harmonis
sehingga umat Islam secara umum sangat diuntungkan dalam rangka menjadikan umat
Islam unggul di masa-masa mendatang. Memang secara personal tidak diragukan
lagi mengenai keunggulan seorang mukmin. Namun secara peradaban harus tetap
diakui peradaban Islam masih menjadi “permainan” orang Barat zionois.
Khatib dituntut pula menjadi “pendidik”
yang kuat dalam memberikan inspirasi, motivasi, dan keteladanan. Itulah
sebabnya, “GreenKhutbah” sangat menekankan khatib harus mampu melakukan amal
kebagusan terlebih dahulu yang berupa: Mendahulukan orang lain (al-itsar);
Melayani orang lain (good services); Berani berkurban (al-qurbah);
dan Santun (al-adab). [ ]
0 komentar:
Posting Komentar