LAPAR, DAHAGA, BIANGLALA
Selain lapar dan dahaga
Selain derita dan nestapa
Apa yang kuperoleh dari masokisme ini
Apa yang kuraih selain perih ini?
Aku tarawih tak berasa tarawih
Aku tadarus tak menggerus rakus yang lebih
Aku jamaah subuh tak ngurangi maksiat kambuh
Aku dengan keakuan yang tak sembuh-sembuh
Aku shalat lalu sujud
Tapi pikiran dan perasaanku saling berebut
Meminta ruang untuk dimanjakan
Meminta waktu untuk pesta perayaan
Aku begitu gembira
Lebaran sebentar lagi tiba
Kesakitan-kesakitan badan dan jiwa
Akan jadi merdeka
Tetapi, tetapi di sudut sunyi ruhani
Di dalam lapis hati yang paling inti
Kepadaku ibu itu menagih
"Anakku, betapa gerimis senja
Tatkala engkau berdiri di jendela
Tubuh mungilmu kuseka dengan airmata
Engkau pernah bertanya
"Ibu, kenapa aku harus lapar dan dahaga
Sedang gerimis senja itu tak pernah dahaga
Sedang tanah ini tak pernah lapar
Sedang hujan siapkan makanan air menghantar?
"Anakku, dalam lapar dan dahaga yang sempurna
Kelak engkau akan mampu terbang ke sana
Meniti tangga-tangga bianglala
Dan bidadari yang berterbangan itu akan menyambutmu di surga."
Dan kini barulah kungerti
Di tiap lapis-lapis bianglala hidup ini
Yang meminta diri untuk menahan diri
Hingga kelak
Aku tersungkur
Dan hanya
Memeluk bianglala
BERGANTUNG
Ketika kuangkat tanganku dalam takbiratul ikhram
Betapa aku ngrasa tak pantas
Berharap meminta yang pas
Tersebab aku telah tenggelam
Ketika hadir di pengajian-pengajian
Betapa semua dan segala kata
Menghunjam ke dalam lubuk hati yang jelaga
Tersebab aku tersindir sendirian
Tetapi, tetapi, kepada siapa lagi
Aku berharap keselamatan
Tengadahkan tangan akan rejeki
Jika bukan kepada-Mu, Tuhan?
Rindu Ibu
Ibu,
di ambang bulan, di ramadhan ini
di dini hari di saat subuh menanti
kulayangkan fatihah berkali kepadamu
mataair airmata bermuara
diharubiru rindu
Ibu,
di pintu bulan, di ramadhan ini
di pagi di saat subuh berganti mentari
kutelponkan ungkapan ampun nurani kepadamu
batu-batu kali batu-batu hati terkikis
tersedu airmata rindu
Yogyakarta, 21 Agustus 2009