*Zaenal Abidin
el-Jambey at-Tubany
Bukan keinginannya jika dia harus melakukan perbuatan yang tidak terpuji
itu. Tapi keadaanlah yang membuatnya melakukan ini semua. Seminggu lalu ketika
dirinya pulang ke desa karena libur kuliah, hatinya benar-benar menjerit
melihat keadaan kedua orangtuanya. Betapa selama ini ketika dia asyik dengan dunianya
sendiri, ia lupa pada orang yang tiada henti mendoa dan berharap kepadanya.
Ketika siang hari bapaknya harus bergelut dengan lumpur sawah berteman sengatan
matahari. Punggungnya berkilau karena terlalu sering berjemur di bawah terik mentari.
Sementara ibunya pun tak kalah hebat dibanding Bapaknya, setelah pekerejaan
dapur selesai, jika tidak membantu sang suami, ibunya harus mencarikan rumput untuk
ternaknya. Terkadang juga pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Air mata yang jarang keluar dari
kelopak matanya hari itu mengalir deras tiada kuasa dia bendung. Kata-kata
ibunya meruntuhkan sekat yang menghalanginya untuk menangis.
"Kim....mungkin kamu kaget melihat keadaan ibu dan bapak seperti ini.
Sapi kami jual untuk biaya nebo menggarap sawah. Dan kami juga tidak
bisa berbuat apa-apa, karena semua tanaman padi yang ada di sawah mati. Memang
bukan hanya milik kita saja. Kim Ibu dalam beberapa bulan ini harus pinjam ke
sana kemari." Terang Ibunya dengan wajah muram. Ibunya yang dulu tampak
kuat, kini tampak kerut-kerut di wajah sudah mulai menghampirinya.
Mendengar keterangan dari ibunya. Ingin rasanya Hakim menangis dan menjerit
atas nasib yang selama ini menimpa keluarganya. Ia kadang heran mengapa dari
dulu sampai sekarang keluarganya tidak kunjung keluar dari kesusahan. Padahal
ibu dan bapaknya adalah orang yang baik. Bapaknya adalah seorang yang sangat
jujur, lugu dan sabar. Ia masih ingat ketika salah seorang kerabatnya yang lama
tidak pernah berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba datang dan meminjam sepeda motor
yang baru dibeli oleh Bapaknya dari hasil menjual sapi yang dimiliki. Dan
betapa marah dirinya, karena ternyata orang itu membawa pergi sepeda motor itu
dan tidak mengembalikannya. Di tengah kemarahan dirinya dan ibunya yang tampak
sedih, Bapaknya justru berkata,
"Sabar, ini takdir Allah...mau bagaimana lagi, engko mesti
diganti oleh Allah"
Itulah keheranan Hakim, orang yang begitu baik seperti Bapaknya tidak
kunjung juga terbebas dari jerat kesusahan. Sambil tertunduk menahan sedih
Hakim kembali mendengar Ibunya melanjutkan bicaranya, "Kini untuk biaya
kuliahmu semester empat ini, Ibu dan Bapak terpaksa menggadaikan sawah
kita." Kata Ibunya dengan suara purau sambil menyodorkan amplop kepada
Hakim.
"Ini Kim uang 4 juta untuk biaya kuliahmu. Kemarin dari uang gadai itu
dapat uang 6 juta, 2 juta rencananya mau Ibu belikan Sapi dan untuk biaya
berobat Bapakmu. Ibu ndak masalah Kim, yang penting kamu kuliah seng temenan,
jadilah orang yang berhasil, cukup Ibu dan Bapak yang susah, Ibu ndak rela
kalau anak Ibu susah juga seperti orangtuanya."
Hakim tidak mengeluarkan sepatah kata pun, perlahan ia angkat wajahnya yang
dari tadi menunduk, ia tatap wajah Ibunya, wajah itu semakin tua, dan tampak
lelah. Hati Hakim bertambah sedih ketika melihat Bapaknya keluar dari kamar
sambil batuk. Laki-laki berumur 52 tahun itu berjalan menuju kursi kosong di
sebelah kanan Hakim sambil berkata,
"Kim...nek kuliah seng temenan. Engko Bapakmu nek gak ono sopo seng
ngrawat Ibu lan adikmu iku. Seng pinter le...huk..hukkk" (Kim, kalau
kuliah yang sungguh-sungguh, nanti kalau Bapakmu tidak ada siapa yang merawat
Ibu dan adikmu. Yang pintar Le..huk..hukk.”
Sambil menahan tangis Hakim mengatakan kepada kedua orangtuanya,
"Insya Allah Pak, Bu, Hakim juga sampon berusaha dengan sebaik
mungkin untuk berprestasi. Dan uang ini Hakim ambil setengahnya saja Bu. Hakim
insya Allah sudah ada uang untuk menutupi kekurangan biaya semester ini."
Hakim membuka amplop putih itu, diambinya uang dua juta lalu ia serahkan kepada
Ibunya kembali.
"Dapat uang dari mana kamu Le?" Tanya ibunya.
"Ibu tenang saja, Hakim akan mencoba mencari tambahan untuk uang
kuliah dengan mengajar, atau pun mencoba mencari pekerjaan yang kiranya dapat
meringankan Ibu dan Bapak."
"Syukurlah kalau begitu, tapi tetap kamu harus mengutamakan
kuliahmu." Kata Ibunya dengan wajah sedikit berseri-seri. Mendung sedih
yang dari tadi hinggap di wajah Ibu Maisarah dan Pak Narto itu, sedikit hilang
mendengar penjelasan anaknya itu.
****
"Bro.....wah dari pada kita susah-susah cari kerja lebih baik
seperti ini, tanpa modal, keuntungan kita banyak sekali. Sip... kamu bisa
membayar biaya kuliah tanpa meminta kepada orangtuamu lagi." Kata
laki-laki bertindik di kupingnya sambil sibuk menghitung lembaran uang di
tangannya.
"Tapi apa kita akan begini terus Ran?"
"Tentu saja tidak Kim, kita begini kan terpaksa, terpaksa karena ndak
punya uang, coba kita punya uang, apa kita akan melakukan perbuatan seperti
ini, tidakkan?"
"Tapi selama kita melakukan hal ini, entah mengapa akhir-akhir ini
rasanya hatiku dirundung gelisah terus Ran."
"Kim, Gusti Allah iku tahu mengapa kita begini, karena kita ingin
mempertahankan hidup, jadi meski kita mencuri, itu dosanya tidak seberapa, dan
yakin saja bahwa Gusti Allah akan memaafkan, lha yang merampas hak-hak manusia
indonesia termasuk hakku dan hakmu untuk hidup layak saja mereka sama sekali
tidak merasa berdosa, bahkan bangga dengan perbuatannya, sebagai pencuri kelas
tinggi, dengan mengkorup harta rakyat."
"Tapi aku tidak ingin berlama-lama dengan semua ini Ran. Hati ku
selalu gelisah setiap kali melakukan perbuatan ini"
”Itu pasti Kim. Pasti. Tapi kita kumpukan modal dulu lalu setelah itu kita
buka usaha, kita mandiri kawan.”
”Kamu janji Ran.”
”Tentu..”
Angin sore berhembus membawa pesan-pesan ilahi, angin yang berhembus di setiap
belahan bumi itu sebagian di antara membelai wajah Hakim yang gelisah akan
langkah hidup yang dijalani selama ini. Di bawah teras rumah kecil itu ia
termangu memandang langit yang seolah murung. Tapi terkadang pesan ilahi itu
tidak dapat dibaca oleh manusia. Hanya mereka yang hatinya suci dan lembutlah
yang bisa membaca berbagai pesan-pesan ilahi yang hadir memperingatkan manusia.
***
Pagi ini mentari tak kunjung muncul dengan sinarnya yang terang. Gerimis
tipis pun yang turun dari tadi tak kunjung reda. Di depan gedung bercat putih
biru itu beberapa mahasiswa tampak melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki
gedung itu. Hanya ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang masih duduk-duduk
di teras depan gedung yang bertuliskan Fakultas Adab di papan depan itu, yang
lainnya tampaknya sudah memasuki kelas masing-masing.
Matanya memandang ke sana kemari, memastikan tidak ada mata pun yang
melihat dirinya. Kalau pun ada jangan sampai ia dicurigai, dengan mantap ia
mengambil helm putih yang tampak baru itu. Hakim tersenyum melihat seseorang
yang berjalan di depannya bersama dua orang temannya, senyum yang dibalas oleh
sapaan merdu dari gadis berjilbab hitam, wajahnya tampak putih dengan balutan
jilbab hitam itu,
”Mas Hakim, sedang apa ndak masuk tah, ini sudah jam masuk lo,?”
”Sebentar lagi ini ada urusan sedikit, nanti kalau telat tolong izinkan
ya,?”
”Oh gitu ya sudah monggo Mas.....”
Mendapat sapaan gadis bernama Zahratul Umamah itu seolah ada setetes embun
bening hinggap di hatinya. Hakim tersenyum. Secepatnya kakinya melangkah menuju
pintu belakang Kampus, ia merasa sepertinya tidak ada orang yang
memperhatikannya. Mungkin mereka berpikir bahwa helm itu adalah Helm Hakim
sendiri. Hakim terus berjalan menyusuri gang-gang kecil menuju tempat
kontrakannya. Sesampainya di kontrakanya, Randi telah siap untuk menyulap helm
curian itu menjadi uang dengan menjualnya kembali.
***
Mendung menggantung di langit Surabaya perlahan setetes dua tetes air mulai
berhamburan berpelukan dengan tanah. Beberapa hari ini sepertinya cuaaca di
Surabaya tak begitu bersahabat, mentari selalu tertutup oleh mendung. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di
masa depan. Bahkan satu detik ke depan masih merupakan teka-teki. Manusia hanya
bisa berharap dan berusaha. Hakim melangkah dengan ragu, tak seperti biasanya
hatinya gelisah dan takut. Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Di parkiran Kampus dengan ragu dan bergetar ia ambil helm berwarna merah di
bawah pohon jambu air itu. Ia tidak tahu bahwa pemillik helm itu masih berada
di dekat situ, Hakim segera pergi, tapi
”Hai........ maling helm” Teriak seorang pemuda sambil berlari ke arah Hakim.
Semua pasang mata tertuju pada Hakim. Hakim berhenti, tubuhnya kaku tak
bergerak.
”Hai Mas, mau dibawa ke mana helm saya itu?” Tanya pemuda itu dengan
membentak dan muka geram. Sementara para mahasiswa yang menyaksikan kejadian
itu tiba-tiba sudah penuh mengerubngi Hakim dan pemuda pemilik helm.
”Oh...jangan-jangan helm-helm yang sering hilang dicuri oleh orang ini.”
Teriak salah seorang mahasiswa. Dengan
suara bergetar kerena takut, Hakim menjawab,
”Endak Mas, saya tadi ha..hanya mau pinjam.”
”Kalau pinjam mengapa tidak izin saya Mas?” tanya pemuda pemilik helm.
”Halah ini......, ternyata yang mencuri helm saya kemarin” Teriak salah
seorang yang ikut mengerubungi Hakim sambil menjotos kepala Hakim.
Ricuh semua yang mengerubungi Hakim memukul, menjotos dan menendang tubuh
Hakim,
”Ya Alllah tolong......”Rintih Hakim sambil menahan sakit, mendengar rintihan
Hakim pemuda pemilik Helm tak sampai hati, ia berusaha melerai para mahasiswa
yang sudah terlanjur terbawa menggila karena emosi.
”Berhenti..stop stop....!!!!” Tolong jangan main keroyok begini rek. Lebih
baik kita bawa ke Fakultas, jangan main pukul seperti ini. Hakim berjalan
dikawal oleh para mahasiwa, wajah dan tanngannya tampak memar terkena pukulan.
Hakim merintih, air matanya menetes, sekelebat wajah ibunya hadir di depannya.
” Bu...Pak...Dek” Katanya Lirih.
Seluruh Fakultas Adab geger melihat Hakim yang terkenal pendiam, ramah dan
baik itu babak belur di kerubngi di ruang Loby. Melihat kejadian ini gadis
berjilbab merah yang baru saja turun dari lantai atas itu tampak kaget bukan
main melihat Hakim babak belur seperti itu. Ia adalah Zahratul Umamah teman Hakim, matanya basah.
Bebrapa dosen muncul mencoba menurunkan ketegangan.
”Semuanya harap tenang. Biar pihak Fakultas yang menangani semua ini.”
”Ini Pak pencuri helm-helm di Kampus kita selama ini.”
”Ya, ya makanya tolong jangan main hakim sendiri biar kami yang urus
masalah ini.” Langit Surabaya semakin gelap tampaknya pagi menjelang siang itu hujan akan membasahi bumi
pahlawan, sementara Hakim merasakan kesedihan yang sulit untuk digambarkan,
hujan mulai turun dan langit menangis.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
IAIN Sunan Ampel Surabaya & Shantri Ma’had TeeBee Indonesia Tinggal
di Ma’had TeeBee Indonesia yang beralamatkan di Jl.Tambak Raga, Jl.Tambak
Bening II 18-20, Simokerto, Surabaya Pusat (60142) (Contact Person 08563335017)
0 komentar:
Posting Komentar