Blogger news

Majalah MAYAra adalah majalah donasi internasional yang berbasis keilmuan tanpa memandang golongan bermodalkan persaudaraan. Bersama Boleh Beda. Allahu Akbar...!!!

Kearifan Lokal

*Prof. Dr. Abdu A’la


Akhir-akhir ini degradasi moralitas sosial mewabah akut menjangkiti masyarakat bangsa. Kebiadaban nyaris melekat dalam hidup keseharian kita. Ambil contoh, kekerasan seakan-akan telah menjadi jalan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang kita hadapi.
Dalam konteks degradasi moral itu pula, kita melihat maraknya “tradisi” korupsi, aji mumpung dan sejenisnya yang dilakukan beberapa oknum pejabat dan pengusaha yang hingga saat ini belum mengalami penurunan berarti. Bancaan uang negara dan rakyat terus dilakukan oleh tikus-tikus penjahat berkrah putih ini. Memperkokoh kondisi ini, politik kekuasaan dalam beragam bentuknya menjadi model anutan banyak kalangan di sembarang lembaga dan organisasi. Dengan kekuasaan yang dibungkus berbagai label, mereka melakukan hampir segalanya; merugikan rakyat dan mengeruk keuntungan untuk diri sendiri.
Menyikapi kondisi Indonesia kekinian, kita mungkin agak berlebihan jika menganggap negara ini negara anarkis, negara keserakahan, dan negara kekuasaan. Namun realitas di sekitar kita hampir seutuhnya mengarah kepada anggapan itu. Persoalan ini yang seharusnya dibincang dengan serius untuk menata kembali keindonesiaan kita.

Indonesia Masa Lalu
Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lainnya sejatinya juga menunjuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan menapaki kehidupan mereka.
Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.
Namun dari waktu ke waktu, nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi simbol yang tanpa arti. Bahkan akhir-akhir ini budaya masyarakat hampir secara keseluruhan mengalami reduksi, menampakkan diri sekadar pajangan yang sarat formalitas. Kehadirannya tak lebih untuk komersialisasi dan mengeruk keuntungan.
Tentu banyak faktor yang membuat kearifan lokal dan budaya masyarakat secara umum, kehilangan geliat kekuatannya. Selain kekurangmampuan masyarakat dalam memaknai secara kreatif dan kontekstual kearifan lokal mereka, faktor lainnya adalah pragmatisme dan keserakahan yang biasanya dimulai dari sebagian elit masyarakat. Kepentingan subjektif diri mengantarkan mereka untuk “memanfaatkan” kearifan lokal. Mereka menggunakannya secara artifisial, tapi sekaligus menghancur-leburkan nilai-nilai luhur yang dikandungnya.
Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungannnya masih bersifat patron-client “meneladani” sikap dan perilaku elit mereka. Pada sisi itu bencana budaya mulai berkecambah dalam masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak mampu lagi melihat, apalagi menyelesaikan, secara arif hampir persoalan yang menimpa mereka. Krisis demi krisis lalu menjadi bagian hidup bangsa.

Rekonstruksi Kearifan Lokal
Kendati tidak menjamin persoalan akan selesai, rekonstruksi kearifan lokal sangat niscaya untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jatidiri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka.
Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai.
Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa, masing-masing lalu merajut kebhinnekaan, menjadikannya untaian yang kokoh dan indah. Dengan untaian yang menyatukan satu dengan yang lain, mereka  bersama-sama menyelami kehidupan secara arif dan bijak. Di sana pijar-pijar lampu kehidupan pasti akan menerangi menuju kehidupan yang lebih baik, sejahtera, damai dan penuh keadilan. (MAYAra Geographic)

*Penulis adalah cendikiawan Muslim Indonesia

Bohong, Awal Kehancuran!

*Drs. Najib Sulhan, MA


Sore itu ada telepon berdering kencang sekali. Seorang anak menghampiri dan hendak mengangkatnya. Sebelum telepon diangkat, ibunya sempat titip pesan, ”Nak, kalau ada yang menanyakan ibu, bilang  kalau ibu tidak ada di rumah.” Ternyata dugaan ibu tidak salah. Telepon itu menanyakan ibu. Dengan santainya, anak ini menyampaikan kalau ibunya tidak ada di rumah.
Setelah telepon itu ditutup, si anak menyampaikan kepada ibunya, ”Bu, saya sudah menyampaikan kalau ibu tidak ada di rumah.” Ibu ini tersenyum dan memberikan dukungan atas apa yang dilakukan oleh anaknya.
Persoalan di atas kelihatan sepele, hanya persoalan telepon. Mungkin saja orang yang menelepon  tidak tahu, bahkan sudah tidak mau peduli. Justru yang menjadi persoalan besar adalah ketika orangtua dengan sengaja mengajarkan kebohongan kepada anaknya sendiri.
Mungkin bagi orangtua hal itu biasa, bukan persoalan besar. Namun bagi anak, ini adalah hal yang luar biasa. Anak telah mendapatkan pelajaran dari orangtuanya sendiri, bahwa bohong itu boleh, bohong itu tidak apa-apa. Bisa saja anak memiliki persepsi bahwa bohong perlu dilakukan.
Kadang kita sering berpikir, kapan kebohongan itu mulai bersemi pada diri anak. Padahal anak ketika dilahirkan dalam keadaan fitrah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-A'raf ayat 172,  “Dan Ingatlah, ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya Berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul, Engkaulah Tuhan kami, kami menjadi saksi.”
Jawaban itu ada pada diri setiap orangtua. Sejak kapan kata-kata bohong itu diajarkan, saat itulah anak mengenal kebohongan. Justru anak mengenal kebohongan lebih banyak dari lingkungan yang paling dekat dengan dirinya, yaitu orangtua.
Dalam beberapa peristiwa, justru kebohongan adalah awal dari terjadinya kehancuran. Bahkan boleh dibilang bahwa kebohongan adalah salah satu sifat orang yang munafik. Sekali berbohong dan tidak diketahui, maka esoknya akan melakukan kebohongan yang lebih besar. Dalam urusan pekerjaan, ketika sudah mulai ada kebohongan, maka suasana tidak akan kondusif. Begitu juga di dalam rumah tangga, ketika kebohongan sudah mulai bersemi, maka akan berdampak pada kurangnya keharmonisan keluarga.
Orang yang biasa berbohong, ketika melakukan kesalahan, sulit untuk mengakui kesalahannya. Justru yang dilakukan untuk menutupi kesalahan adalah dengan mencari-cari alasan sebagai bentuk pembenaran.
Ada sebuah kata bijak yang perlu kita renungkan bersama, ”99% kegagalan berasal dari orang yang mempunyai kebiasaan membuat alasan”. Ini artinya, alasan adalah suatu kebohongan yang  menjadi belenggu seseorang. Semakin banyak berbohong, maka akan semakin lemah dan tidak berdaya.
Sebaliknya, kejujuran menjadi kunci sukses. Rasulullah Muhammad saw menjadi orang yang paling berpengaruh di dunia adalah karena memiliki sifat siddiq, selalu benar. Apa yang ada di dalam hati, diucapkan, dan dilakukan selalu serasi. Tidak ada kebohongan.
Dalam beberapa penelitian tentang orang-orang sukses, jujur menempati urutan yang paling tinggi. Ini menunjukkan bahwa kunci sukses bukan pada kepandaian, nilai dalam ijazah, tetapi mental yang akan menentukan semua. Bahkan hasil penelitian di Harvard University menunjukkan bahwa 85% keberhasilan seseorang ditentukan oleh mentalnya. Sementara 15% ditentukan oleh kepandaian dan kemampuan mereka.

*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan Majalah MAYAra


Penghambaan & Hak Ketuhanan

“Permohonanmu (kepada Allah) bukanlah penyebab pemberian dari-Nya, betapa rendah pemahamanmu. Seharusnya permohonanmu hanyalah untuk menampakkan kehambaan ('ubudiah) dan memenuhi hak-hak ketuhanan (rububiah).”

(Syarah al-Hikam II/9, baris ke-2)

Seorang mukmin harus meningkatkan pemahaman bahwa permohonan yang dipanjatkan, dan amal shaleh yang dikerjakan tujuan utamanya bukanlah kucuran pemberian Allah swt kepada dirinya. Tetapi lebih dari itu adalah bagian dari keharusan mendudukkan diri pada kedudukan yang sebenarnya yakni seorang hamba yang faqir, hina, dla'if dan tentu saja sangat membutuhkanNYA, sekaligus menjunjung tinggi kedudukanNYA sebagai Tuhan Yang Maha-sempurna. Jika seorang mukmin telah memahami ini tentu ia akan terus-menerus  memanjatkan permohonan dan tidak pernah pupus harapan, walaupun telah memperoleh segala yang diinginkan dan dicita-citakan. Baginya tidak ada perbedaan antara diberi atau tidak diberi, ia terus dan tetap memanjatkan doa dan permohonan, karena seorang hamba memang seharusnya senantiasa membutuhkan Tuhan.
Yang sering terjadi adalah orang baru berdoa manakala ia merasa membutuhkan atau menginginkan sesuatu yang ia merasa tidak mampu untuk mewujudkannya. Selama masih merasa mampu ia tidak akan –atau minimal ogah-ogahan- memanjatkan doa. Ini adalah bentuk arogansi seorang hamba; pertama, ia merasa bahwa terdapat waktu dan suasana tertentu yang ia tidak membutuhkan Tuhan, dan kedua, Tuhan dijadikan kebutuhan yang tidak pokok atau dijadikannya suruhan, disuruh-suruh jika ia membutuhkanNYA. Demikian juga sering terjadi, orang yang berdoa hanya karena ingin terkabulkan keinginan dan cita-citanya. Jika sudah terkabulkan, ia tidak lagi ingin berdoa. Maka doa orang ini bukan karena menghambakan diri dan men-Tuhan-kan Allah melainkan semata, karena syahwat dan keinginan belaka.
Maka, jika ingin menjelma sebagai seorang mukmin-muslim yang  ingin hanya merasa butuh kepada Allah kapan pun, di mana pun dan dalam situasi bagaimana pun sudah seyogyanya memahami, bahwa doa (dan amal shaleh yang lain) bukanlah sekedar untuk memenuhi hasrat semata melainkan bentuk penghambaan sekaligus pemenuhan hak ketuhanan Allah swt. Wa-llahu a'lam

Belajar Cinta Lingkungan Dari Kota-Kota di Dunia

*Prof.Dr.H. Suparto Wijoyo, M.Hum


Pembaca MAYAra. Belajar dari yang pintar dan meniru dari yang maju merupakan tindakan mulia. Cara pemegang otoritas Utrecht, Groningen, Amsterdam, dan kota-kota lainnya di Belanda dalam mengelola kanal-kanalnya dengan airnya yang berkilau jernih tentulah menarik diikuti.
Perjalanan menyusuri Sungai Seine dapat menggugah nurani ekosistemik untuk menjadikan Kali Brantas, dan Kalimas, atau pun sungai-sungai kota  di Indonesia sebagai pusat perlancongan. Paris dapat mengembangkan pariwisatanya bersandarkan pada ritme geografis Sungai Seine. Di sisi kanan atau pun kiri Sungai Seine berjajar sambung-menyambung 38 obyek wisata, antara lain, Toure Eiffel, Trocadero, Place de la concorde, Assemble Nationale, Musse d'Orsay, Ile de la Cite, Institut de Monde Arabe, Hotel de Ville, Bastille, dan lain-lainnya.
Keindahan di kota-kota Eropa semakin lengkap dengan banyaknya ruang publik dan taman kota dengan aneka ragam burungnya, terutama burung “si setia” Merpati serta transportasi umum berupa bus maupun kereta bawah tanah (metro) yang aman-nyaman. Kapan kota-kota di Indonesia memiliki angkutan rakyat yang layak pakai sebagaimana halnya di banyak kota di Eropa? Di samping itu, pesona Danau Lemann di jantung kota Geneva (Swiss) mestinya dapat diteladani untuk mengembangkan Bundaran Waru (perbatasan antara Sidoarjo-Surabaya, red) yang dulu sempat menampung air hujan. Apa hendak dikata, Bundaran Waru dewasa ini malah ditimbun tanah, persis seperti lahan pekuburan. Bundaran Waru mengerang kesakitan mananggung beban kolektif dosa ekologis komponen birokratik yang tidak apresiasif terhadap lingkungan. Bundaran Waru sudah sirna dalam derap “kemajuan” dan dililit dengan “jala (bukan jalan) tol” yang melayang di pusaranya.
Lebih dari itu, ada lagi. Sampah di kota-kota telah menimbulkan tragedi sosial dan drama lingkungan yang besar: Seluruh lorong kota menjadi tidak higienis untuk lahan hunian akibat sengatan bau anyir, amis, dan bau busuk sampah. Tampat Pembuangan Akhir (TPA) sekadar dijadikan arena pembuangan, dan bukannya lokalisasi pengelolaan. Sampah diartikan sebagai materi yang harus dibuang, tidak sebagai “sumber energi” yang perlu di-manage. TPA menurut UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang saya ikut bikin adalah Tempat Pemrosesan Akhir. Berarti di TPA sampah akan diolah menjadi energi.
Negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, maupun Perancis melihat sampah sebagai persoalan serius dan “barang berharga”. Maka, perangkat hukumnya masuk dalam derajat undang-undang (UU). Bacalah Wet Miliuebehernya-nya Belanda. Pemerintah Kota di Belanda saling bekerjasama untuk mengelola sampah secara gotong-royong berdasarkan Undang-undang Kerjasama Antarpemerintah Daerah. Warga kota membuang sampah seminggu sekali pada hari tertentu yang berbeda-beda di setiap zonanya. Sampah yang dibuang sudah dipilah, untuk memudahkan daur ulang.
Menyusuri kota-kota di Belanda, Jerman, Belgia, Luksemburg, maupun Perancis, memang terasa asri. Keutuhan hutan-hutan kota dan cara mereka merawatnya patut dicontoh. Perjalanan panjang meretas di pinggiran kota-kota Belgia (Bastogne, La Roche, Dinant, Liege, Coo, Spa, Namur, Boullion, dan Han's Lesse), di Luxemburg (Clervaux, Viaden, Diekirch, Echternach, Remich, dan Witz le Catheau), maupun di Jerman (Koln, Frankfurt sampai ke Basel Bad)  tampak terlihat keanggunan “hutan mini” yang terawat. Hamparan lahan hijau yang luas menjadikan hati ini terkesan. Di sana rupa-rupanya tidak ada penjarah yang doyan “menyantap dengan lahap” hutan kota. Di Negara maju terdapat kesadaran yang tinggi tentang betapa pentingnya fungsi taman kota bagi keberlanjutan kehidupan. Sementara itu pengalihfungsian lahan kerakyatan atau pun taman kota-kota di Indonesia nyaris tak terkendali. Taman kota sedang digeser oleh “taman plastik”.
Tentulah masih banyak pekerjaan para walikota nantinya. Setiap warga kota pun dapat mengekspresikan pemikirannya secara brilyan untuk mempercantik kota. Telah tiba saatnya bagi kota menari gemulai dengan iringan gendang yang rancak menuju harmonisitas kehayatan warganya. Mari kita jalin keakraban sebagai warga yang memiliki ghirah perkotaan. Distorsi nilai yang terjadi harus diproyeksi ulang dan dikoreksi secara total.

*Dosen Hukum Lingkungan Universitas Airlangga dan
  Guru Besar Luar Biasa MTI Surabaya

Khalid bin Walid; Jendral Jenius Si Pedang Allah

Khalid bin Walid r.hu salah seorang sahabat nabi yang memiliki perjalanan ruhani (suluk) indah. Pernah menjadi kafir. Pernah pula menyiksa dan menghalangi orang Makkah untuk menjadi muslim. Sahabat Khalid saat itu sangat kejam dengan kaum muslimin. Namun bersamaan masuknya hidayah Allah ta’ala dalam dada sahabat Khalid. Sahabat Khalid menjadi panglima perang Islam yang berhati lembut. Memenangkan pertempuran setiap dia mengikutinya. Sejarah mencatat belum pernah terkalahkan. Hingga Rasulullah saw memberinya gelas “Pedang Allah Yang Terhunus”. Luar biasa dinul Islam. Dapat merubah hati buas menjadi lembut. Hati keras menjadi lunak. Hati pendendam menjadi pecinta. Inilah keberhasilan pola pendidikan dan pembelajaran di madrasatun nabawiah. Dengan guru besarnya Rasulullah saw.
Sahabat Khalid bin Walid r.hu memeluk Islam setelah melalui pergulatan pemikiran yang hebat. Pergolakan pemikiran yang mendalam. Sangat dalam. Hingga akhirnya, Allah ta’ala menganugerahkan ilham untuk menetapkan pilihan dalam keyakinan hidup. Yang sangat luar biasa. Perenungan yang dilakukan secara mandiri itu sampai pada sebuah keputusan, “Saya harus menjadi muslim.”
Sebuah kata hati yang sangat suci. Yang lahir dari kecerdasan akal budi seorang Khalid. Yang sejak kecil dididik untuk menjadi petarung yang memenangkan dalam setiap pertempuran. Tidak mengherankan. Khalid anak-anak sampai berusia mudah benar-benar menjadi Khalid yang matang dengan dunia kekerasan dan peperangan. Rupanya Allah ta’ala berkehendak lain atas kehidupan Khalid. Akal cerdasnya menuntunnya dalam pusaran hidayah Islam. Akal sehatnya semakin membenarkan segenap apa yang dilakukan Muhammad bin Abdullah.
Semakin bertekad bulat Khalid segera berjumpa dengan Rasulullah saw. Dalam hatinya mencari kebenaran tidak dapat ditunda lagi. Hingga pada suatu siang. Dia putuskan hendak menemui Nabi saw. Di tengah jalan bertemu dengan Usman bin Thalhah. Dia beritahukan mengenai tujuan untuk menemui Nabi saw. Gayung bersambut. Usman juga sepaham hendak memeluk Islam. Lalu, keduanya berjalan sampai pada bukit kecil. Setelah sampai di puncak bukit bersua dengan Amr bin Ash. Kedua memberitahukan apa maunya dan hendak kemana kakinya dilangkahkan. Luar biasa takdir Allah ta’ala. Amr bin Ash pun juga sepakat untuk memeluk Islam dan harus segera berbai’at dengan Nabi saw.
Maka, ketiga pemuda Arab Quraisy tersebut berjalan mantap hendak berbai’at di hadapan Nabi saw. Takdir Allah azza wa jalla ketiga langsung dapat berjumpa dengan Nabi saw. Setelah berbai’at di hadapan Nabi saw. Sahabat Khalid minta didoakan Nabi saw, agar dosa dan kesalahan di masa lalu yang pernah menghalangi orang Quraisy masuk Islam diampuni dosanya oleh Allah ta’ala. Lalu, Nabi saw menjawab permohonan tersebut dengan bersabda, “Sungguh ke-Islam-an itu telah menghapuskan segala perbuatan yang lampau” (Hadis Syarif; Kitab Rijal Haular Rasul, Khalid Muhammad Khalid). Lalu, Nabi saw memanjatkan doa,“Wahai Allah, aku mohon Engkau ampuni dosa Khalid ibnul Walid terhadap perbuatannya menghalangi jalan Mu di masa lalu” (Hadis Syarif; Men Around The Messenger, Khalid Muhammad Khalid).
         
Islam Itu Hidayah
Sulit dinalar kiranya orang seperti sahabat Khalid menjadi mukmin-muslim. Betapa tidak? Wong dulunya musuh Islam. Musuh Rasulullah saw. Musuh kaum mukminin-muslim Makkah. Tiba-tiba dia melakukan perenungan yang mendalam. Akal cerdasnya diajak dialog. Semua yang terjadi di sekitar dan dialami dipikirkan. Direnungkan. Dengan seksama dan sangat mendalam. Hingga puncaknya dia membenarkan 100% ajaran Islam. Ajaran Muhammad yang disampaikan kepada masyarakat jahiliah Makkah. Benar-benar hidayah.
Yang patut dicatat. Hidayah Allah ta’ala selalu datang dan menyertai para hamba-Nya yang sungguh-sungguh berhasrat hendak mendapatkan hidayah itu. Jika hasratnya tidak kuat. Kiranya sangat sulit mendapatkan hidayah Allah swt. Allah ta’ala selalu memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Karena memang hamba tersebut berhasrat kuat untuk memperoleh hidayah itu. Sebaliknya, Allah ta’ala juga menyesatkan kepada para hamba-Nya yang memang menetapkan pilihan hidup menjadi orang-orang yang sesat.
Belajar sifat kepada sahabat Khalid. Ketabahan dan kedisiplinan sahabat Khalid bin Walid yang menjadikan dirinya memiliki kekokohan prinsip, sekaligus memiliki pribadi yang lembu dan rendah hati.

Dikenal Sejak Perang Muktah
Dalam Perang Muktah. Ada tiga syahid. Yakni, sahabat: Zaid bin Harisah; Ja’far bin Abi Thalib; dan Abdullah bin Rawahah r.hum. Pasukan kaum Mukminin benar-benar mengalami krisis saat itu. Siapa yang layak menjadi pemimpin pasukan. Jika ketiga orang yang ditunjuk Rasulullah saw. Semuanya menemui kesyahidan. Maka, dengan inisiatif yang cerdas. Ditambah kerendah-hatian yang bagus. Datang sahabat Tsabit bin Arqam r.hu untuk mengambil bendera yang dibawa asy-Syahid Abdullah bin Rawahah r.hu.
Dalam pikiran sahabat Tsabit terbesit. Tidak ada orang lain yang layak membawa panji-panji Islam ini, kecuali Khalid bin Walid. Benar. Dipilihlah dengan sedikit ditekan, agar mau menerimanya. Sebab, memang sahabat Khalid tahu diri. Sebagai orang baru dalam barisan Islam. Sebab, dia baru saja berbai’at. Masak langsung menjadi pimpinan? Maka, sahabat Khalid dengan tawadlu’ menawarkan kepada para sahabat senior lainnya. Semua sahabat sepakat hanya sahabat Khalid yang layak menerima bendara tersebut. Maka, dipeganglah bendera tersebut. Dengan secepat kilat. Kepiawaiannya menunggang kuda sambil bertempur mampu membabat habis kepala kaum pasukan Romawi.

Fathu Makkah
Dalam penaklukan Kota Makkah. Sahabat Khalid mengambil peran. Dengan ditunjuk Nabi saw sebagai pemimpin pasukan sayap kanan. Yaitu, pasukan yang memasuki Makkah dari arah kanan Kota Makkah.
Tanpa perlawan yang berarti dengan mulus seluruh pasukannya dapat memasuki Kota Makkah. Sampai akhirnya menduduki Ka’bah. Semua ini terjadi akibat sikap mencla-mencle kafir Quraisy terhadap Perjanjian Damai dengan Rasulullah saw.
Jika dulu. Khalid memimpin kaum kafir Quraisy melawan pasukan kaum mukminin yang dipimpin Nabi saw. Sekarang. Saat Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Sahabat Khalid memimpin pasukan kaum Muslimin melawan kaum kafir Quraisy.
Jika dulu tanpa pandang menebas dan membunuh kaum muslimin. Sekarang, tanpa pandang bulu setiap leher orang kafir ditebas. Semua dilakukan sebagai wujud penyesalan yang sangat mendalam. Mengapa dia dahulu kok pernah menghalang-halangi manusia untuk menuju jalan Allah ta’ala. Ini yang seringkali membuat dirinya gundah-gulana. Seraya menyasal sekali dengan perbuatan bodohnya tersebut.
Dengan gemilangnya Rasulullah saw dan kaum muslimin memasuki Kota Makkah. Sahabat Khalid semakin yakin, bahwa janji Allah itu benar adanya. Dia semakin yakin seyakin yakinnya mengenai janji-janji Allah swt. Ini pula yang kemudian menjadikan pribadi sahabat Khalid menjadi manusia berkeyakinan baja. Dia yakin benar. Barangsiapa membela kebenaran Allah swt. Pasti dibela Allah ta’ala. Itulah sebabnya, dia tidak pernah takut dengan setiap peperangan yang diikutinya saat membela dinul Islam. Ke mana pun takdir menghendaki dirinya harus berperang membela dinullah.

Di Jaman Abu Bakar
Khalidah Abu Bakar r.hu merasa kesal dengan terjadinya banyak pemurtadan. Pada masa kekhalifahannya. Banyak dari rakyatnya yang sudah tidak lagi taat menunaikan zakal mal bagi si kaya. Hampir di komunitas tertentu, mulai suku dan kabilah. Banyak yang berontak hendak memisahkan diri dari kekhalifahan Islam. Bahkan, yang menggeramkan sahabat Abu Bakar r.hu. Adalah, mengakunya Musailamah al-Kadzab sebagai nabi baru.
Bagi Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu tidak ada orang yang layak memimpin penumpasan pemberontakan itu, kecuali Khalid bin Walid. Benar terjadi. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu menetapkan mandat pengangkatan sebagai panglima perang. Guna memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakal mal, orang-orang yang murtad, dan daerah-daerah yang hendak memisahkan kekuasaan dari kekhalifahan Islam. Seperti, yang terjadi pada suku: Asad, Ghatfan, Abas, Thay, dan Dzibyan. Yang terjadi pada kabilah: Bani Amir, Hawazin, Salim, dan Bani Tamim. Yang terjadi pada penduduk: Bahrain, Oman, dan Muhrah.
Semua tugas dilakukan dengan sukses dan berhasil gemilang. Bahkan, Musailamah al-Kadzab berhasil dibunuh. Dan, seluruh gerakan yang dipimpinnya mampu dibubarkan. Suku, kabilah, dan penduduk-penduduk yang hendak memisahkan diri dari kekhalifahan Islam. Tidak terjadi.
Dengan pandangan yang tajam dan kecerdasan yang jenius. Khalifah Abu Bakar r.hu menugaskan Khalid sebagai panglima perang guna menentramkan wilayah Irak dan Syiria. Di kedua negara bagian Kekhalifahan Islam ini penduduknya selalu mendapatkan kekacauan. Utamanya, kekacauan itu datang Negara Persia dan Negara Romawi. Maka, dengan cepat pula. Semua kekuatan Persia dan Romawi hengkang dari bumi Islam. Bahkan, sahabat Khalid sempat meng-Islam-kan seorang panglima perang Romawi. Namanya Gregorius. Gregorius menjadi syahid. Setelah akhirnya bertempur di pihak kaum muslimin.

Di Jaman Umar bin Khaththab
Seperti diketahui, sejak awal sahabat Umar tidak sependapat dengan pengiriman pasukan. Guna memerangi para pembangkang, pembelot, dan kaum murtad. Maka, di saat dirinya menggantikan Khalifah Abu Bakar r.hu yang mangkat. Langsung Khalifah Umar r.hu mengambil kebijakan. Dengan mencopot sahabat Khalid bin Walid sebagai panglima perang kaum muslimin. Dengan menggantikannya kepada sahabat Abu Ubaidah r.hu.
Pelajaran yang dipetik. Di tengah berkecamuk Perang Yarmurk. Perang yang tidak sebanding tersebut. Di sisi lain. Dia mendapatkan kabar bahwa dirinya dicopot sebagai panglima. Jika bukan karena kebesaran jiwa sahabat Khalid. Entah apa jadinya pertempuran Yarmurk itu. Yang jelas kalah pasukan kaum muslimin.
Tapi, yang terjadi sebaliknya. Sahabat Khalid tetap menyelesaikan tugasnya sebagai seorang panglima perang. Dengan menghancurkan pasukan Romawi yang jumlahnya 240.000. Di mana saat itu Panglima Khalid harus mengelola 100 orang pasukan melawan 40.000 tentara Romawi notebene terlatih dengan peralatan perang relatif lebih modern dibandingkan milik kaum muslimin. Namun mereka tetap kalah.
Panglima Legendaris
Panglima Khalid sungguh legendaris dalam sejarah-sejarah dakwah Islam. Utamanya yang berkaitan dengan peperangan yang terjadi dalam Islam. Mulai jaman Rasulullah saw sampai Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu.
Wafatnya sahabat Khalid menjadikan kaum muslimin berduka. Tak terkecuali Khalifah Umar bin Khaththab r.hu. Dia sangat terpukul dengan wafatnya sahabat Khalid. Sedianya Khalifah Umar hendak mengangkat menjadi panglima perang. Namun kedahuluan takdir maut menjemputnya.
Ternyata sahabat Khalid tidak saja pandai bertempur. Karena memang sahabat Khalid ahli strategi dan teritorial. Dia jago menunggang kuda.  Tidak hanya itu. Sahabat Khalid juga seorang orator dan motivator ulung. Dalam kondisi yang sangat kritis pun. Dia mampu membangkitkan gelora juang pasukannya. Coba renungkan. Panglima mana yang mampu memberikan spirit dan motivasi. Setiap 100 orang pasukannya harus bertempur dengan 40.000 tentara musuh. Dan, semua memenangkan dalam pertempuran yang dipanglimainya. Sungguh sahabat Khalid seorang jendral yang sangat jenius. Yang tidak akan pernah ada untuk kedua kalinya di dunia ini. Berbahagia kaum muslimin pernah memilikinya. Selamat jalan wahai jendral jenius.  [ ]



Pembelaan Abu Thalib

Setelah Rasulullah saw mendapatkan perintah dakwah Islam secara terbuka. Seperti dijelaskanNYA dalam surat asy-syura 214 dan surat al-hijr 94. Beliau saw terus melakukan gerilya dakwah Islam. Yang pertama, sudah barang tentu kaum kerabat sendiri. Baru terbuka secara luas. Dalam keluarga saja Nabi saw mendapatkan tantangan yang sangat keras. Apalagi di luar. Yaitu, di kalangan masyarakat Quraisy. Lebih hebat lagi tanangan yang dihadapi oleh Rasulullah saw. Benarlah adanya. Nabi saw dari kalangan Quraisy mendapatkan perlawanan dakwah Islam. Kenyataan itu wajar-wajar saja. Sebab, masyarakat Quraisy merasa terusik dengan keberadaan Rasulullah saw, dan diturunkannya risalah islamiah. Mereka kaum Quraisy yang kafir selalu mencari cara dan jalan, agar Nabi saw menghentikan kegiatan dakwah. Sabaliknya, dengan kekuatan dan strategi yang jitu dalam waktu singkat dakwah Islam Rasulullah saw mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan. Sekalipun di sisi lain mendapatkan tantangan, teror, penyiksaan, dan pembunuhan dari para begundal Quraisy.

Nabi saw Dirayu
Abu Lahab dan Abu Jahal paham bahwa keponakannya tidak dapat dihadapi dengan model dan cara yang telah dilakukan. Akhirnya, mereka sepakat menghadapi dakwah Islam Nabi saw dengan cara dirayu. Semua itu dilakukan kaum penentang dakwah Nabi saw. Dikarenakan, sang paman selalu berusaha dan mem-back up dakwah Nabi saw. Bahkan, dengan terang-terangan tidak mau menyerahkan Nabi saw ke tangan kaum kafir Quraisy.
Hingga akhirnya. Kaum kafir Quraisy memutuskan untuk sowan kepada Abu Thalib. Dengan harapan Abu Thalib merubah posisinya. Yang semula mendukung dakwah Islam Nabi saw. Akhirnya tidak lagi melindungi dakwah Islam Nabi saw. Dibuatlah tim 10 yang beranggotakan 10 orang untuk menghadap Abu Thalib. Kesepuluh orang itu adalah: 1).Utbah bin Rabi’ah bin Abdusy-syams bin Abdimanaf bin Qushaiy bin Kilab; 2).Syaibah bin Rabi’ah bin Abdusy-syams bin Abdimanaf bin Qushaiy bin Kilab; 3).Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdusy-syams bin Abdimanaf bin Qushaiy bin Kilab; 4).Abdul-bakhtany al-Ash bin Hisyam bin Harist bin Asad bin Abduluzza bin Qushaiy bin Kilab; 5).Aswad bin Muththalib bin Asad bin Abduluzza bin Qushaiy bin Kilab; 6).Abu Jahl Amr Abulhakim bin Hisyam bin Mughiroh bin Abdullah bin Umar bin Makhzum; 7).Walid bin Mughiroh bin Abdullah bin Umar bin Makhzum; 8).Nubaih bin Hajjaj bin Amir bin Hudzaifah bin Sa’ad bin Sahm; 9).Munabbih bin Hajjaj bin Amir bin Hudzaifah bin Sa’ad bin Sahm; dan 10).Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sa’ad bin Sahm.
Tim 10 yang sowan kepada Abu Thalib ternyata gagal merayunya. Abu Thalib tetap pada pendiriannya. Tidak mau menyerahkan keponakannya kepada kaum Quraisy. Ancaman kaum kafir yang dialamatkan kepada Nabi saw dan yang diujukan kepada dirinya. Sama sekali tidak menjadikan dirinya takut. Apalagi Nabi saw. Mendengar adanya teror dan provokasi yang dilakukan kaum kafir kepada sang paman. Justru beliau saw menjawab tantangan kaum kafir tersebut, dengan semakin terang-terangan dalam berdakwah Islam.
Nabi saw bertekad bulat untuk terus berdakwah. Sampai titik darah penghabisan. Beliau saw tidak takut teror, ancaman, dan provokasi kaum kafir. Beliau saw serahkan hidup dan mati hanya di tangan Allah ta’ala.
Hingga dengan terang-terangan pula sang paman membiarakan dan mendukung dakwah Islam Nabi saw. Sang paman berjanji. Apapun yang terjadi dia tidak akan pernah menyerahkan Nabi saw ke tangan kafir Quraisy.
Melihat cara yang pertama gagal merayu Abu Thalib. Para tokoh Quraisy kembali mengirim tim 10 untuk menemui Abu Thalib. Konon tim 10 ini sambil membawa pemuda Quraisy sebagai imbalan. Jika Abu Thalib mau menyerahkan Muhammad bin Abdullah saw. Sejarah mencatat pemuda Quraisy yang hendak dijadikan hadiah kepada Abu Thalib, agar menjadi pembantu Abu Thalib, bernama Umaroh bin Walid bin Mughiroh. Kaum Quraisy menghendaki barter. Umaroh diserahkan kepada Abu Thalib. Kaum kafir kemudian membawa Nabi saw untuk dieksekusi.
Dengan tegas Abu Thalib menolak ide jahat tersebut. Dia katakan kepada kaym Quraisy. Selagi dirinya masih hidup. Tidak bakal pernah menyerahkan Nabi saw kepada pihak kafir Quraisy. Sekuat tenaga Abu Thalib hendak terus melindungi Nabi saw dalam mendakwahkan dinul Islam.

Sebutan Buat Nabi
Orang-orang kafir Quraisy bingung dalam menyebut ejekan kepada Nabi saw. Sebab, tidak ada yang cocok menurut Walid bin Mughiroh. Sebutan yang berisi ejekan itu jelas dialamatkan kepada Nabi saw. Seperti sebutan: dukun; majnun; penyair; dan penyihir. Semua ditolak oleh Walid bin Mughiroh selaku tetua yang saat itu berkumpul di dekat Ka’bah.
Hingga akhirnya disetujui, sebutan Nabi saw dengan penyihir. Mereka beranggapan banyak orang Mekkah yang terpikat dengan ucapan, akhlak, adab, dan penampilan beliau. Memang Nabi saw pemuda Quraisy saat itu. Namun cara berbicara beliau, akhlaknya, adabnya, dan penampilanya. Tidak lazim untuk tradisi orang-orang Makkah. Mengenai sepak-terjang Walid bin Mughiroh tersebut direkam dalam qur`an. Allah ta’ala berfirman, “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.11 Dan, Aku jadikan baginya harta benda yang banyak.12 Dan, anak-anak yang selalu bersama dia [Walid bin Mughiroh].13 Dan, Aku lapangkan baginya [rizeki dan kekuasaan] dengan selapang-lapangnya.14 Kemudian, dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.15 Sekali-kali tidak [akan Aku tambah]. Sebab, sungguh dia [Walid bin Mughiroh] menentang ayat-ayat Kami [al-qur`an]” (Qs.al-Muddatstsir [74]: 11-16).

Ditekan Mendatangkan Simpatik
Dakwah Islam Nabi saw di Makkah menjadikan posisi beliau semakin terjepit. Orang-orang kafir Quraisy tinggal menunggu lengahnya Abu Thalib. Para tokoh kafir Quraisy sangat segan dengan keberadaan Abu Thalib. Sedangkan mereka yang tidak setuju. Sebagian besar dari mereka masih keluarga besar Nabi saw sendiri.
Memang demikianlah tantangan dakwah Islam, hingga hari ini selalu ditentang oleh: keluarga sendiri, sesama teman, orang munafik, orang kafir, dan setan (iblis). Maka, bagi para pelaku dakwah harus terus waspada selalu. Tidak boleh lengah. Tidak boleh lemah. Tidak boleh menyepelekan sesuatu. Hal itu dilakukan semata melindungi dakwah Islam hingga Hari Kiamat.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam mendakwahkan agama Allah ta’ala. Nabi saw semakin bersemangat. Sehingga ejekan, cercaan, hinaan, cemo’ohan, ancaman, provokasi, dan intimidasi. Semakin memperkokoh dan meneguhkan posisi Nabi saw dalam berdakwah. Di samping itu kaum mustadh’afin Quraisy banyak yang bergabung dengan Nabi saw. Mereka simpatik dengan Nabi saw. Mereka mencintai Nabi saw. Lalu, mereka seiya-sekata sehidup semati mendukung dan membela dakwah Nabi saw.
Tak ketinggalan peran sahabat Abu Bakar. Pada masa-masa awal dakwah Islam di Makkah. Umar belum mukmin ketika itu. Di mana sahabat Abu Bakar r.hu membela Nabi saw. Ketika salah seorang kafir Quraisy hendak menyeret Nabi saw. Kekerasan fisik ditimpakan kepada Nabi saw. Alasan mereka, sebab Nabi saw sudah mengejek dan mencela berhala-berhala mereka. Mereka tidak mau disalahkan. Mereka maunya Nabi saw bergabung dengan mereka.
Yang ditakutkan para tokoh Quraisy. Sekaliber Abu Lahab. Dia tidak ingin pengelolaan sumur zamzama nantinya berpindah kepada Muhammad bin Abdullah keponakannya. Bagi orang seperti Abu Lahab. Semua roda dan sumber perekonomian Makkah harus di bawah kendalinya. Dia harus menguasai mesin uang tersebut.
Dia sangat khawatir. Jika pengikut Nabi saw semakin hari semakin banyak. Nantinya dapat merebut mata pencahariannya. Maka, dia tidak lagi punya mesin uang. Demikianlah kegalauan pikiran para tokoh feodalistik Makkah. Karenanya, mereka berketatapann hati Muhammad bin Abdullah saw harus lenyap.
Jadi, masalah kekacauan yang terjadi di Makkah. Sebenarnya lebih didasarkan pada masalah ekonomi, politik, dan sosial. Adapun keyakinan sekadar dijadikan bemper kaum kafirin guna merebut simpatik warga masyarakat Makkah

Pengamalan: Wujud Nyata Kemauan dan Kemampuan

Pengamalan itu kemauan dan kemampuan seseorang yang melebur dalam tindakan nyata di kehidupan sehari-hari, guna memiliki hidup berkah. Berkah itu kebagusan yang senaniasa bertambah. Sukses tidak selalu membawa berkah. Manusia yang berkah dalam hidup. Dia itu orang sukses. Disebut orang sukses karena yang dialami dalam kehidupan dijadikan Pembelajaran Sifat. Lalu, diikuti Perubahan Perilaku. Kunci menjadi orang sukses yang berkah. Yaitu, kemauan dan kemampuan diwujud-nyatakan dalam pengamalan yang sebenarnya [implementing the willingness and ability of someone who immerse themselves in concrete actions in daily life, in order to have the blessings of life. Blessing was the ever-increasing splendor. Success is not always a blessing. Humans are a blessing in life. He was successful. Called for an experienced successful people in life become Character Learning. Then, followed by Behavior Transformation. The key to successful people are a blessing. That is the willingness and ability to be realized in practice the actual state].

Omda Miftahulluthfi Muhammad bin Zainuddin bin Ali Basyah

Pengamalan. Yang istilah alfaqir adalah “laku amal”. Harus dimiliki semua orang baligh, berakal sehat, dan beriman lagi berkeyakinan denganNYA. Betapa rugi orang yang tidak pernah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Betapa rugi orang yang berkeyakinan namun tak pernah mengamalkan keyakinan yang secara bulat telah diyakini. Seperti lilin. Ia menerangi sekitar, tetapi membakar tubuhnya sampai habis. Apakah pengamalan seseorang dalam hidup guna menuju azzam yang hendak diraih. Haruskah membakar tubuh hingga habis?
Kemauan menjadi salah satu dari dua faktor penting di kehidupan orang-orang yang sementara ini sukses dunia dan akhirat. Tanpa memiliki kemauan yang kuat. Seseorang pasti gampang menyerah dan berputus-asa. Terdapatnya kemauan yang kuat dari dalam diri, utamanya atas dasar kesadaran pribadi, bakal mampu melahirkan banyak hal yang bermanfaat dalam hidupnya.
Kemampuan merupakan wujud nyata yang dimiliki setiap manusia. Sehingga manusia secara alami dapat berkembang. Sedikit manusia yang menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki dapat menjadikan apa saja dalam hidupnya. Padahal apa pun yang dialami setiap manusia adalah Pembelajaran Sifat dari Tuhan yang dimediatorkan kepada alam. Maka, manusia yang menyatu dengan alam niscaya memiliki kemampuan hidup yang jauh lebih baik. Dibandingkan orang-orang yang hidupnya tidak ramah dengan alam lingkungan.

Jangan Menunda Amal
Tuhan tidak menyukai apabila ada manusia yang suka menunda-nunda amal. Orang yang suka menunda amal berarti tidak menghargai waktu yang dianugerahkan Tuhan padanya. Waktu adalah anugerah Tuhan yang berupa peluang sekaligus kesempatan untuk melakukan Perubahan Perilaku. Perubahan guna menjadi hidup lebih berkah. Hidup sukses yang berkah, baik di dunia maupun di akhirat.
Karenanya, orang yang beriman harus selalu membulatkan tekad, baik tekad teguh maupun tekad disiplin, untuk menjadi orang yang bermanfaat. Inilah yang membedakan, antara orang yang beramal dengan sekadar amal dengan orang beramal yang memiliki keahlian. Itu pula sebabnya, apabila seseorang sudah membulatkan tekad untuk berubah pantang surut mundur. Sebaliknya, apa-apa yang dilakukan semakin ditingkatkan lalu dengan totalitas diserahkan dalam pangkuan takdirNYA. Dia percaya bahwa Tuhan yang memiliki segala ketetapan.

Mengapa Takut?
Tinggalkan ketakutan yang tidak beralasan. Rasa takut yang menjadikan rendah diri, gagal, tidak berkembang, dan selalu dihantui pemikiran negatif harus ditinggalkan. Sebab rasa takutnya tersebut bakal mendominasi Cara Berpikir, sikap mental, dan perilaku yang memasung kreatifitas. Sehingga rasa takut yang demikian itu pasti menjadikan orang yang bersangkutan tidak maju, tidak berkembang, dan tidak bakal menjadi sesuatu yang lebih baik. Alias hidupnya tidak berkah. Inilah hidup yang mengalami kegagalan.
Takut gagal. Sepandai apa pun. Bahkan, secerdas apa pun seseorang itu. Apabila hidupnya senantiasa dihantui rasa gagal. Pasti dia mengalami kegagalan. Bahkan, selalu dirundung kegagalan. Belum mengamalkan amal perbuatan. Sudah takut gagal duluan. Maka, dia pasti menerima kegagalan tersebut. Yang ada dalam pikirannya hanya “kalau-kalau gagal”. Akibanya, ya gagal beneran. Belajar Sifat pada orang-orang yang “berhasil” (“sukses”). Mereka mampu mendesain kegagalan menjadi peluang untuk “berhasil”. Kegagalan itu baginya bagian terpenting dari sebuah kesuksesan. Hanya orang yang pernah gagal yang dapat merasakan “keberhasilan” (“kesuksesan”).
Munculnya rasa takut gagal pada diri seseorang yang sangat berlebihan. Hal itu berpengaruh pada perilaku dan sikap mental negatif yang lain, seperti: takut ditolak, takut tidak diterima, takut dihina, takut tidak lulus, dan takut beresiko. Semua rasa takut tersebut dapat menjadi kontrol yang bagus, apabila tidak berlebihan dan disertai kemauan dan kemampuan yang bagus. Hukum sebab akibat berbunyi, “Positif lahir karena ada negatif. Apabila dikompromikan dengan seimbang antara positif-negatif bakal menghasilkan sesuatu yang positif.”
                         
Kerja Keras
Kerja keras itu sangat bagus. Tetapi tidak boleh melupakan hak dan kewajiban. Baik terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sebab, tidak berjalannya antara hak dan kewajiban sebuah pertanda bakal terjadi dis-harmoni. Apabila seseorang dalam hidup mengalami dis-harmoni niscaya banyak mengalami kegagalan.
Itulah sebabnya, tidak selalu orang yang suka bekerja keras pasti “berhasil” (“sukses”). Yang harus dipahami. Keberhasilan dan kesuksesan lebih disebabkan lahir dari keterlibatkan alam. Alam yang disediakan Tuhan bakal memberikan support pada setiap orang yang berbuat ramah dan mampu “dialog” dengannya. Energi alam sangat besar. Dan, energi alam selalu dapat sinergi dengan energi manusia. Karenanya, apabila manusia tidak mampu menyedot energi alam ke dalam dirinya. Dia tidak mendapatkan daya dukung yang cukup hebat dari alam. Ini pertanda pula bahwa orang itu tidak cukup “dialog” dengan Tuhan. Sebab, jika manusia mampu dan mau dialog dengan Tuhan, niscaya dia hidupnya selaras dengan alam. Inilah kesuksesan hidup yang berkah.

Renungan
·        Benarkah Anda sudah berubah? Yang berarti pula Anda sudah melakukan pengamalan nyata? Tanyakan pada diri Anda. Sudahkan selama lima tahun terakhir pertemanan Anda berubah lebih berkah? Sudah banyak koleksi buku Anda yang telah dibaca selama setahun terakhir?
·        Amal baik jangan diingat-ingat. Amal buruk harus banyak dingat. Tujuannya, agar banyak melakukan amal yang baik.
·        Apakah Anda lebih banyak mengikuti suara hati? Atau, Anda lebih sering mengiktui suasa hati? Beramal mengiktui suara hati laksana sebatang pohon yang akarnya kuat menghujam ke bumi dan batangnya tegak berdiri menjulang ke langit. Beramal mengikuti suasana hati laksana sampan berada di tengah-tengah samudera. Terombang-ambing oleh ganasnya gelombang dan kuatnya terpaan angin.
·        Cerdas saja tidak cukup. Ijasah saja tidak cukup. Sejatinya hidup yang dibutuhkan adalah kuatnya kemauan dan memiliki kemampuan bertahan hidup.
Manusia yang tidak menghadirkan atau melibatkan Tuhan dalam hidup. Pasti hidupnya tidak berkah. Sedangkan amal perbuatan yang diamalkan semakin menjauh dariNYA.

Gerimis di Penghujung Senja

*Dimas Indianto S
Senja sebentar lagi sempurna. Keemasan matahari telah menggantung di mataku. Tetapi rintik hujan perlahan menyelinap di antara bayangan senyummu di pelupukku. Semakin lama ku pandangi warnamu, hujan semakin deras. Namun, seperti apapun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan kau sedang duduk gelisah di halte itu-­-tempat pertama kau dan aku bertemu dalam hujan, saat itu kau kerepotan membawa barang belanjaan, kau panik dengan hujan yang membasahi rambutmu, dan ketika itu aku menyodorkan payung, lalu kau dan aku berdua menundukkan hujan. Dan kau ku antar ke dalam halte yang di situ banyak orang mendekap sunyi dengan jaket mereka, sampai sebuah mobil mewah menyeretmu dari hadapanku--, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sembari menggosok-gosokkan lenganmu dengan telapak tanganmu yang mengisut  untuk mengusir dingin yang menggerogoti kesabaranmu yang makin entah. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kau aku sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah beberapa kali kau menelepon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti terganggu oleh cuaca yang payah.
Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap hujan yang bermain-main dengan angin. Jalan-jalan penuh dengan genangan. Rerumputan tak lagi bisa bergoyang. Tubuhnya enyah terendam dingin yang panjang. Jendela kaca di wajahku perlahan buram, berembun. Ku lentikkan jemariku untuk menyekanya, dan wajahmu yang gelisah  seperti tersketsa di sana.
Tersebab itu harus aku katakan, “Maaf, senja ini aku tak bisa menepati janji--untuk menyudahi rindumu yang berapi-api---. Aku yakin kau maklum. Senja ini tak seperti biasanya, terang seperti fotomu yang kuselipkan di pelupukku. Langit begitu gelap, tak mungkin aku menerobosnya. Sedang di sini aku menemani nenekku yang tengah berbaring menahan sakitnya. Adik-adikku belum pulang dari pasar—mencari kertas-kertas bekas untuk kemudian dijual, sekedar menambah uang jajan mereka--. Jika aku pergi nenek akan sendirian.
***
Halte sepi. Biasanya setiap sore banyak orang lalu lalang berpulang dari bermacam kesibukan. Kursi panjang yang terbuat dari kayu berwarna hijau tua--yang dulu kau aku duduk bersama, setelah kau menawari payung untukku, sebab aku kerepotan dengan belanjaanku dan bajuku terkena basah. Dan kau mengajakku bercerita kemari-kesana, menghilangkan dingin dengan senyummu yang ramah—tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di ujung bangku, sendiri. Tapi kau tak juga datang. Bagaimana pun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu tapi itulah uniknya dirimu, yang membuatku berat melupakanmu. Ah entahlah!
Hujan masih nericis lirih. Beberapa kali aku dekap-dekap tubuhku, ku usap-usapkan telapak tanganku, sesekali ku gosok-gosokkan pada lenganku secara silang. Aku  memang mulai merasa gelisah. Gelisah yang indah. Sudah satu jam lebih aku menantimu. Dan batang hidungmu belum juga muncul.
Hujan makin mengencangkan arusnya, barangkali di tempatmu pun sama. Mungkin sebab itu kau belum juga datang atau bahkan tidak bisa datang. Beberapa kali ku kirim sms, tak terkirim juga. Beberapa kali ku telpon, tak  terhubung juga. Hujan begini, pasti sinyalnya buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga senja ini terang. Pun jika kau tak bisa datang juga tidak masalah.  Apalagi aku tahu beberapa hari lalu nenekmu baru pulang dari rumah sakit. Dan tentu sebagai cucu yang baik sekaligus paling tua, kau memang seharusnya menemani nenekmu istirahat, menghibur dan mengingatkan jika sudah waktunya minum obat. Salahku juga, memintamu bertemu pada musim hujan seperti ini. Ini benar-benar bukan masalah. tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar dua minggu kita tidak bertemu. Dan sepanjang ini membuat rinduku berapi-api, adakah kau juga merasakannya?
***
Benarlah bahwa cukup lama jeda kita tak berjumpa. Perjumpaan terakhir adalah saat  aku menemani nenek dirawat di rumah sakit. Selepas menjenguk nenek dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama, dan itu pun dengan suara teramat lirih.
“Sudah berapa hari nenek dirawat?” tanyamu lembut sembari mengelus-elus tangan nenek yang tengah tertidur pulas.
“Dua hari”
“Kata Dokter, apa sakit Nenek?”
“Katanya cuman terlalu lelah”
“Itulah. Pasti nenek terlalu capek. Sudah ku bilang, Nenek suruh banyak istirahat saja di rumah”
Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang penuh perhatian pada keluargaku.
“Maaf, aku tak bisa berlama-lama.  Aku harus kembali ke rumah. Kalau keadaan nenek membaik. Tolong kabari aku.”
Aku tersenyum dan berterima-kasih, sebelum kau pergi dan mencium tangan nenek.
Entahlah! hubungan kau dan aku memang tak jelas. Barangkali itu karena perbedaan derajat keluargamu dan keluargaku tak sama. Kau anak dari orang terhormat, kekayaanmu berkelimangan, pendidikanmu hebat. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa kau dan aku tak layak untuk bersama.
Dalam dirimu, terbiasa berhidup serba ada, kau ingin ini-itu, keluargamu tak pernah menundanya. Kehormatan keluargamu terdengar di mana-mana, kecantikanmu apalagi, tak perlu ku bertanya. Dan aku sebaliknya: miskin, hidup dalam ambang ketiadaan, keluargaku tak berkecukupan. Itu jugalah kenapa setiap sore adik-adiku bergentanyangan menelusuri gelap pasar mencari sisa-sisa kertas untuk dijual kemudian untuk jajan. Ibu bapakku telah tiada. Dan nenek, sakit tersebab tenaganya habis dikuras untuk bekerja sebagai tukang cuci. Sedang aku, hanyalah seniman miskin, pelukis yang tak tahu arah harus apa ku berkarya. Cukupkah hasil jualan lukisan pun ku tak tahu?! Dan ini, biaya rumah sakit dan berobat nenek aku berhutang kemari-ke sana, menjual ini-itu, tak lagi ku pedulikan seperti apa wajahku di hadapan mereka. Yang penting nenek sehat, itu cukup bagiku. Untuk selanjutnya entahlah. Mungkin tuhan akan sedikit memberi keringanan. Untuk itu terasa janggal jika orang sepertiku bersanding dengan perempuan seindah kau. Tapi ini sudah diatur. Aku tak mampu berbuat apa, selain satu: mencintaimu dengan caraku—yang mungkin membuatmu nyaman.
***
Hujan belum juga reda. Langit  agaknya mulai kedinginan. Berselimutkan awan gelap yang begitu tebal menggantung di atas halte. Jalanan makin tak terlihat, sebab tergenang seperti juga hatiku yang makin tak tenang. Suasana beginilah yang acap membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara.
Kata cinta kerap kau ucapkan, namun tanganmu masih gemetar untuk melingkarkan cincin di jemariku. Kau mungkin masih menimbang-nimbang tentang keseriusanmu. Padahal usiaku dan usiamu semakin merangkak. Dan lelaki yang melirikku tak terhitung jumlahnya.
Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu keluargamu, aku hanya seorang teman perempuanmu yang memberi perhatian lebih pada keluargamu.  Jadi keluargamu tak pernah berpikir aneh-aneh tentang kau dan aku. Entahlah, bagaimana kisah ini berujung. Seolah sebuah alamat buruk pula, jika seorang perempuan sepertiku jatuh cinta dengan pemuda dari keluarga sederhana.
Dan keluargaku pun entah. Barangkali tak mau menerimamu tersebab derajat kau dan aku tidaklah sama. Tapi sungguh aku mencintaimu. Bukan harta yang aku ingin, tetapi ketulusan mencinta yang kau punya yang tak pernah ku jumpa pada semua yang ku jumpa.
***
Hujan masih berdebaman. Masihkah kau di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Kau hampir saja memenuhi semua kebutuhanku dan keluargaku. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah cukup matang, dan sebagai lelaki aku harus punya bekal untuk menjadi suami, untuk mengimamimu. Melindungimu dari hujan--teringat saat kau aku pertama bertemu di halte itu-- dan dari terik. Sebagai suami sudah menjadi kewajiban memenuhi kebutuhan kebutuhan-kebutuhanmu nanti. Tapi apa yang aku punya sekarang. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi nenek jika aku berkabar kepadanya “Nek, aku ingin menikah”.      
Aku pun kemudian berpikir, hal bodoh apa yang telah merasuk ke dalam pikiranku, yang membuatku mencintaimu. Sungguh tak pantas lelaki tak punya, mencintai perempuan keluarga berada. Ini sungguh sebuah kegilaan yang sungguh keterlaluan. Aku tidaklah layak menjadi pendampingmu. Aku hanya pemuda pengangguran. Membahagiakan nenek dan adik-adikku pun ku belum kuasa. Maka, bagaimana mungkin aku mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami pada istri. Karena itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf.
***
Makin lama, hujan ini menjadi seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau datang menemuiku, sedang hujan sederas ini? Ah kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana aku bisa jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa bersalah padamu. Keberadaan keluargaku mungkin membuatmu minder untuk mencintai dan mendekatiku. Tiba-tiba aku memintamu untuk segera mempersuntingku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu.
Apa boleh dikata, ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepaskanmu. Sedang aku berbeda dengan perempuan lain. Aku tak membutuhkan materi yang lama ini buat kau terganggu, aku sudah punya kemapanan, aku telah bekerja, ayahku punya beberapa perusahaan.  Aku tak butuh itu, sungguh! Aku hanya mengidamkan kejujuran, ketulusan dan kesederhanaanmu. Kenyamanan yang mampu kau beri setiap kau berada di dekatku, itulah yang ku inginkan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu. Lalu aku berpikir bahwa mungkin kaulah malaikat yang tuhan kirimkan untuk menemani hidupku. Sepanjang jalan yang kan kulalui setelah ini.
***
Hujan ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja aku belum bisa melukiskannya, seperti biasanya aku melukis. Apa pun yang terjadi, sepertinya perasaan yang ku pikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah materi. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan materi atau kemapanan sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalau pun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah nenekku. Tapi apa imbalanku?
Sepanjang jalan ini, serasa semua berjalan lancar. Kau dan aku tak pernah menemu masalah dengan keputusan atau yang lain. Setiap kali aku membahas sesuatu kau selalu mencoba menghadirkan saat itu juga. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk menjadi sosok calon suami. Mengapa demikian? Tentu saja. Lelaki yang tak bisa memenuhi kebutuhan perempuannya, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Karena itu sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk menyegarkan hubungan kita yang selama ini baik-baik saja—sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja-- . bagaimana jika aku memberikan kejutan untukmu?
***
Hujan ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah memberi sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang ku maksud. Entahlah tiba-tiba aku membayangkan jika kau menemui orangtuaku, beserta membawa lukisan wajahku yang kau buat, lalu kau utarakan maksud hatimu, tentang keseriusanmu. Sekali lagi aku tidak mempermasalahkan keberadaan keluargamu. Aku hanya inginkan kau menemaniku, menjadi suami yang sah untukku.
Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu penuhi kebutuhanmu? Karena aku tak mau kehilanganmu. Aku mengenalimu sungguh sangat dalam. Aku tahu siapa kau, sosok lelaki yang begitu tangguh menghidupi neneknya dan menyekolahkan adik-adiknya, dan tak pernah mengeluh menjajakkan lukisan-lukisanmu keliling kota. Kau benar-benar telah mencuri hatiku. Karena itu, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Adakah sama kau sepertiku?
***
Sederas apapun, nanti hujan ini pastilah akan berhenti. Meski seolah tak juga berhenti. Bicara  tentang berhenti, aku yakin, aku akan segera berhenti dari citra lelaki tak punya keberanian. Yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap lelaki murni: tegas, berani, tak mudah putus asa, tidak mengeluh...dan sifat-sifat lelaki yang lain. Benarkah, hanya karena berhadapan dengan perempuan anak orang terhormat lantas aku mejelma lelaki payah? Tidak. Akan kubuktikan padamu.
Ahai, hujan begitu kencang membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini membuat pikiran-pikiran yang tersumbat menjadi plong. Menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda, penuh dengan keyakinan yang selama ini kau harapkan ada padaku. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti?
“Ah ini hanya hujan!” gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, melangkah ke arah nenek, aku meraih tangannya. Aku mencium dan meminta restunya. Airmatanya menetes dari sela-sela mata kecilnya yang tepiannya mulai mengeriput. Aku menangkapnya sebagai tanda restu untukku. Semoga kau masih menungguku di sana.
***
Langit sedah gelap dan hujan masih menyuramkan wajah senja yang kau dan aku begitu suka. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu tiba atau menunggu hujan reda. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan reda? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapa pun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini?
Saat ini, senja benar tak indah. Hujan turun dengan marah. Kau pun tak mungkin meninggalkan nenekmu yang sedang sakit. Jadi tak mungkin kau datang. Aku pun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya kau pulang saja.
“Huft...!” aku berdiri, menghela nafas cukup dalam. Ku ulangi beberapa kali untuk sekedar menenangkanku. Seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Halte sore ini begitu sepi, barangkali karena hujan ini telah merenggut keramaian yang seperti biasanya. Dan aku pun melenggang.
***
Hujan sedikit lebih ramah. Ku kenakan jas hujan alakadarnya. Dengan degup memburu, kukayuh sepeda ontelku—yang selama ini menjadi teman setia menjajakkan lukisanku keliling kota setiap pagi--. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana.
Hujan menjadi gerimis, ketika aku mendekati halte itu. Namun, kini, detak jantungku menderas. Aku menggigil, gemetar. Apa karena dingin? Bukan. Tapi lihatlah dari kejauhan aku melihat seseorang tengah terduduk sendirian. “Aku yakin kau pasti setia dan sabar menungguku”. Semakin kuat aku mengayuh sepeda. Tapi!! Setelah ku mendekatinya. Itu bukan kau. Tapi orang lain. Hei, aku tidak percaya ini. Aku bingung. Jantungku mengeraskan detakannya. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang?
“Aku tahu kau akan datang. Jadi aku masih menunggumu di sini.” Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku.
Kau sudah berdiri di belakangku tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku hanya ingin melafadzkan maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kau aku berlarian. Kembali ke halte itu. Kau dan aku duduk dan sama-sama terdiam—persis adegan pas kau dan aku pertama bertemu, di halte itu--. Agak lama. Sepertinya tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kau dan aku ucapkan.
Dan seusai hujan mengurangi derasnya, langit sedikit terbuka. Cuaca terlihat lebih indah. Dan kau, ku antar kerumahmu dengan sepedaku menikmati gerimis di penghujung senja.

*Penulis adalah mahasiswa STAIN Purwokerto